MATERI S2

MATERI: NARKOBA

A. Pengertian Narkoba

Narkoba (Narkotika, Psikotropika, Alkohol dan Zat Adiktif lainnya) adalah bahan/zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang (pikiran, perasaan dan perilaku) serta dapat menimbulkan ketergantungan secara fisik dan psikologis.

Penyalahgunaan narkoba adalah pemakaian narkoba yang bukan bertujuan untuk pengobatan atau tanpa pengawasan dokter. Penyalahgunaan narkoba juga disebabkan karena penggunaan terus menerus, menyebabkan ketergantungan, dan menimbulkan gangguan fisik, mental serta sosial.

 

B. Macam-Macam Narkoba

1.  Narkotika

Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atas perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Contohnya: Heroin, Kokain, ganja, dan sebagainya

2.  Psikotropika

Zat atau obat baik alaiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Contohnya: Ekstasi, Fenobarbital, Funitrazepam dan sebagainya.

3.  Alkohol

Minuman beralkohol yang mengandung ethanol (ethyl alcohol). Contohnya : bir, whisky, vodka, arak dan sebagainya.

4.  Zat Adiktif

Yang termasuk zat adiktif adalah inhalansia, misalnya lem, aceton, ether, premix, dan sebagainya.

 

C.  Dampak Peggunaan Narkoba

1. Dimensi Kesehatan

  • Penyalahgunaan narkoba merusak kesehatan manusia baik secara jasmani, mental maupun emosional.
  • Penyalahgunaan narkoba merusak susunan syaraf pusat, hati, jantung, ginjal, paru-paru, usus dan sebagainya.
  • Penyalahgunaan narkoba menimbulkan gangguan pada daya ingat, perasaan, persepsi dan kendali diri.
  • Penyalahgunaan narkoba merusak sistem reproduksi yaitu produksi sperma menurun, penurunan hormon testosteron, kerusakan kromosom, kelainan sex, keguguran dan lain-lain.
  • Penyalahgunaan narkoba dapat menyebabkan penyakit AIDS melalui pemakaian bersama jarum suntik, jika yang bersangkutan mengidap penyakit AIDS.

Contoh dampak penggunaan Narkoba tertentu:

  • Heroin mengakibatkan infeksi akibat penyuntikan, infeksi pada jantung, gangguan fungsi hati, hepatitis B, gangguan pencernakan, gangguan menstruasi, dan impotensi pada laki-laki.
  • Ecstasy mengakibatkan denyut nadi kencang, tekanan darah meningkat, kelainan jantung, kekurangan cairan sampai pinsan, badan panas, kejang, kurang nafsu makan.
  • Kokain menimbulkan perforasi (terjadinya lubang) pada sekat hidung, koreng pada hidung, ganggua paru, paru basah. Gangguan pada jantung dapat menyebabkan kerusakan otot jantung dan kelainan katub jantung.
  • Ganja dapat menimbulkan gangguan fungsi paru, bronchitis, hipertensi, denyut jantung yang tidak teratur, kerusakan jaringan otot pada sistem limbik, dan gangguan fungsi hormonal.
  • Penggunaan Alkohol dapat menyebabkan kerusakan sel hati, gangguan pencernakan, kekurangan oksigen, hipertensi, anemia, penurunan hormon seksual, gangguan ginjal, gangguan syaraf tepi dan syaraf mata.
  • Penggunaan zat adiktif dapat mengakibatkan terjadinya kekakuan pada pembuluh paru, penekanan pernafasan, denyut jantung tidak teratur, keracunan hati, gangguan ginjal dan gangguan mata.

 

2. Dimensi Sosial

  1. Penyalahgunaan narkoba memperburuk kondisi keluarga yang pada umumnya sudah tidak harmonis. Keluarga-keluarga yang penuh masalah akan mempengaruhi kehidupan di lingkungan masyarakat.
  2. Guna membiayai ketergantungan kepada narkoba seseorang memerlukan banyak biaya untuk membeli narkoba, sehingga para pecandu mencuri, merampok, menipu, mengedarkan narkoba, bahkan bisa membunuh untuk mendapatkan uang.
  3. Para pecandu narkoba pada umumnya menjadi orang yang anti sosial dan menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban pada lingkungannya serta merugikan masyarakat.
  4. Kerugian di bidang pendidikan juga akan terjadi seperti prestasi sekolah yang merosot karena sering tidak masuk sekolah dan tidak konsentrasi sewaktu belajar.
  5. Siswa yang sering menyalahgunaan narkoba sering mengajak teman lainnya untuk turut memakai narkoba, bahkan mereka juga menjadi pengedar narkoba di sekolah.

 

D.  Penyebab Penyalahgunaan Narkoba

  1. Keingintahuan yang besar tanpa sadar akan akibatnya.
  2. Keinginan untuk mencoba-coba karena penasaran.
  3. Keinginan untuk bersenang-senang.
  4. Keinginan untuk mengikuti gaya.
  5. Keinginan untuk diterima oleh lingkungannya yang menjurus ke hal-hal yang negatif.
  6. Lari dari kebosanan atau kegetiran hidup.
  7. Pengertian yang salah bahwa penggunaan yang hanya yang tidak berlebihan tidak menimbulkan ketagihan.
  8. Semakin mudahnya mendapatkan narkoba, dengan harga relatif murah.
  9. Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan, sehingga tidak mampu menolak narkoba secara tegas.

 

E.  Ciri-ciri Siswa yang Menggunakan Narkoba

  1. Perubahan tingkah laku secara tiba-tiba, seperti menjadi prilaku yang kasar, tidak sopan, penuh rahasia serta mudah mencurigai orang lain.
  2. Marah yang tidak terkontrol, dan perubahan suasana hati yang tiba-tiba.
  3. Membangkang terhadap disiplin.
  4. Meminjam atau mencuri uang dari rumah, sekolah dan tempat lainnya.
  5. Mengenakan kacamata gelap pada saat yang tidak tepat untuk menyembunyikan mata bengkak dan merah.
  6. Bersembunyi di kamar mandi, gudang, di bawah tangga dalam waktu lama.
  7. Penurunan kehadiran di kelas dan prestasi belajar menurun.
  8. Lebih banyak  menyendiri, melamun dan berhalusinasi.

 

F.  Tindakan Preventif Siswa untuk Tidak Menggunakan Narkoba

1.  Bertanya

Jika ada yang menawarkan sesuatu obat yang tidak dikenal perlu ditanyakan “Apa ini ?”, dan “Darimana mendapatkannya ?”

2.  Memberi Alasan

“Saya ada kerjaan saat ini” atau “Saya tahu apa akibat narkoba bagi saya. Tidak terima kasih”, adalah contoh alasan yang dapat digunakan bagi remaja.

3.  Memberi ide untuk mengerjakan sesuatu yang lain

Jika ada teman yang menawarkan narkoba, berilah ide kepada mereka untuk mengerjakan sesuatu yang lebih bermanfaat seperti olah raga, bermain dan sebagainya.

4.  Pergi

Jika semua cara sudah dicoba tindakan yang baik adalah pergi dari teman-teman yang menggunakan narkoba tersebut dan bergabung dengan yang lain yang tidak menggunakan narkoba.

5.  Menghindari dari kelompok yang sering menggunakan narkoba, agar tidak terkena tekanan sosial yang menjadikan citra kita di mata masyarakat jelek.

 


G. Strategi yang Telah Ditempuh Perintah dan Masyarakat Menekan Penyalahgunaan Narkoba

1.  Pencegahan

Upaya untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, dengan upaya-upaya yang berbasis masyarakat, mendorong dan menggugah kesadaran, kepedulian dan peran aktif seluruh komponen masyarakat, karena “mencegah lebih baik dari pada mengobati”.

2.  Penegakan Hukum

Upaya terpadu dalam pemberantasan narkoba secara komprehensif terhadap organisasi kejahatan narkoba dengan menerapkan undang-undang dan peraturan-peraturan secara tegas konsisten, dan dilakukan dengan sungguh-sungguh, serta adanya kerjasama antar instansi dan kerjasama internasional yang saling menguntungkan.

3.  Terapi dan Rehabilitasi

Upaya yang dilakukan untuk mengobati para pengguna narkoba dengan melakukan pengobatan secara medis, sosial dan spiritual.

4.  Pengembangan Sistem Informasi Narkoba

Upaya untuk menyediakan dan menyajikan data yang lengkap dan komprehensif tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, baik secara internasional maupun nasional. Hal tersebut dapat digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan dan strategi dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba.

 

Sumber :

Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia. http://www.bnn.or.id

Gerakan Nasional Anti Narkotika (GRANAT) DPD GRANAT DIY

Undang-Undang  No. 5/1997 tentang Psikotropika

Undang-Undang No. 22/1997 tentang Narkotika

MATERI S2

DOMINASI TEORI BELAJAR DALAM IPS TERPADU

Menganalisis tentang teori belajar yang dominan dalam pembelajaran efektif tentu saja perlu dianalisis terlebih dahulu kriteria karakteristik IPS dan kriteria pembelajaran yang efektif. Deskripsi tentang dua komponen tersebut menjadi dasar dari pengkajian tentang dominasi teori belajar yang relevan dalam pembelajaran IPS. Kata “dominasi” dalam kajian ini bukan dimaknai bahwa hanya salah satu teori belajar yang tepat dalam pembelajaran IPS, namun lebih diartikan bahwa teori belajar yang diuraikan nantinya merupakan teori belajar yang lebih dominan diantara teori belajar yang lainnya. Semua teori belajar dapat secara efektif diterapkan dalam pembelajaran IPS, hanya saja terjadi dominasi teori belajar melebihi teori belajar yang lainnya. Prosentasi teori belajar yang akan diuraikan melebihi teori belajar yang lain, walaupun sesungguhnya pembelajaran yang efektif merupakan kombinasi antar berbagai teori belajar.

Pembelajaran yang efektif lebih ditujukan pada kemampuan guru untuk mengelola proses belajar mengajar di sekolah. Guna melaksanakan pembelajaran yang efektif maka perlu mempertimbangkan:

a.    Penguasaan bahan pelajaran

Guru harus menguasai bahan pelajaran sebaik mungkin, sehingga dapat membuat perencanaan pembelajaran dnegan baik, memikirkan variasi metode, cara memecahkan persoalan dan membatasi bahan, membimbing siswa ke arah tujuan yang diharapkan, tanpa kehilangan kepercayaan terhadap dirinya.

b.    Cinta kepada yang diajarkan

Guru yang mencintai pembelajaran yang diberikan, akan berusaha mengajar dengan efektif, agar pelajaran itu dapat menjadi miliki siswa sehingga berguna bagi hidupnya kelak.

c.    Pengalaman pribadi dan pengetahuan yang dimiliki siswa

Pengetahuan yang dibawa siswa dari lingkungan keluarganya, dapat memberi sumbangan yang besar bagi guru untuk mengajar. Latar belakang kebudayaan, sikap dan kebiasaan minat perhatian dan kesenangan berperan pula terhadap pembelajaran yang akan diberikan.

d.    Variasi metode

Waktu guru mengajar abila hanya menggunakan salah satu metode maka akan membosankan, siswa tidak tertarik perhatiannya pada pelajaran. Variasi metode dapat meningkatkan kegiatan belajar siswa.

e.    Seorang guru harus menyadari bahwa dirinya tidak mungkin menguasai dan mendalami semua bahan pelajaran. Maka seorang guru harus selalu menambah ilmunya, dan mengadakan diskusi ilmiah dengan teman agar meningkatkat kemampuan mengajarnya.

f.    Bila guru menghaar harus selalu memberikan pengetahuan yang aktual dan menarik minas siswa.

g.    Guru harus berani memberikan pujian. Pujian yang diberikan dengan tepat, dapat mengakibatkan siswa mempunyai sikap yang positif.

h.    Guru harus mampu menimbulkan semangat belajar secara individual (Slameto, 2003: 96).

Pembelajaran efektif bukan merupakan kajian teori yang hanya dapat dibaca dan dipahami, namun perlu dipraktekkan serta membutuhkan pengalaman. Kemampuan guru untuk berinstropeksi tentang pembelajaran yang telah dilaksanakan dan refleksi untuk memperbaiki strategi pembelajarannya, akan menjadikan guru lebih efektif dalam pembelajaran.

Lee Shulman dalam buku Educational psychology (Anita Woolfolk, 2004: 6), memberikan kriteria guru yang profesional perlu memahami tujuh kondisi yaitu:

(1) the academic subjects they teach; (2) general teaching strategies that aplly in all subjects; (3) the curriculum materials and program appropriate for their subject and grade level; (4) subject-specific knowledge for teaching; sepecial ways of teaching certain students and particular concepts, such as the bes way to explain negatif numbers to lower-ability students; (5) the characteristics and cultural backgrounds of leaners; (6) the setting in which studen learn-pairs, small groups, teams, classes, schools, and the community; (7) the goals and purposes of theaching.

Senada dengan pendapat slameto tentang pembelajaran yang efektif, Lee Shulman memberikan kriteria guru yang profesional dalam mengajar yaitu guru yang memahami tentang materi pembelajaran, strategi pembelajaran, kurikulum, pembelajaran yang spesifik, karakteristik dan latar belakang pembelajaran, setting pembelajaran, maupun tujuan akhir dari pembelajaran.

Setelah mengetahui tentang pembelajaran yang efektif untuk menganalisis teori pembelajaran yang sesuai, maka perlu juga dianalisis tentang karakteristik pembelajaran IPS. Karakteristik pembelajaran IPS mempunyai sifat yang studi integral dari berbagai kompentensi yang dimiliki oleh siswa, antara lain:

  1. IPS bertujuan untuk mempromosikan kompetensi warga negara yang mencakup pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang diperlukan oleh siswa untuk dapat melakukan kewajiban sebagai warganegara yang baik.
  2. Program IPS mengintegrasikan seluruh kemampuan, pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang bersifat interdisipliner.
  3. IPS bertujuan membantu siswa untuk membangun pengetahuan dasar dan sikap yang bersumber pada ilmu-ilmu sosial untuk melihat realitas kehidupan.
  4. Program IPS mencerminkan perubahan alamiah dari pengetahuan, melalui pendekatan integral terbaru untuk menyelesaikan isu-isu kemanusiaan, kemiskinan, kejahatan, kesehatan), melihat isu-isu dari berbagai disiplin ilmu, penggunaan teknologi dan hubungan global (Saidiharjo, 2004: 32).

Berdasarkan dari karakteristik IPS pada karakteristik pertama dan kedua menyangkut tiga ranah belajar yaitu afektif, kognitif dan psikomotor. Karakteristik kedua lebih cenderungan kepada nilai keilmuan yang dikaitkan dengan realitas kehidupan. Pada karakteristik ketiga lebih cenderung progresif untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang ada pada kehidupan sosial.

Berdasarkan karakteristik pembelajaran IPS, teori pembelajaran yang lebih dominan untuk digunakan pada proses pembelajaran adalah teori belajar sosial. Latar belakang dari pemilihan teori belajar sosial, karena sifat pembelajaran lebih cenderung kepada pemberian nilai-nilai dasar sosial yang akan membentuk sikap sosial yang positif. Kemampuan guru untuk memberi makna pada nilai sosial untuk diberikan kepada siswa akan dapat membentuk kepedulian siswa terhadap realita permasalahan sosial di masyarakat.

Teori sosial dikembangkan oleh Albert Bandura seorang psikolog pendidikan dari Stanford University, USA. Teori belajar ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana orang belajar dalam setting yang alami lingkungan sebenarnya. menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku, lingkungan dan kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh (Tim Pegadogig Unpad, 207: 8).

Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

Teori belajar sosial Albert Bandura berusa menjelaskan hal belajar dalam latar wajar. Tidak seperti halnya latar laboratorium, lingkungan sekitar memberikan kesempata yang luas kepada individu untuk memperoleh ketrampilan yang kompleks dan kemampuan melalui pengamatan terhadap tingkah laku model dan konsekuensi-konsekuensinya (Bell Gredler, 1994: 370)

Tingkah laku sering dievaluasi, bebas dari umpan balik lingkungan sehingga mengubah kesan-kesan personal. Tingkah laku mengaktifkan kontingensi lingkungan. Karakteristik fisik seperti ukuran, ukuran jenis kelamin dan atribut sosial menumbuhkan reaksi lingkungan yang berbeda. Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu. Kontingensi yang aktif dapat merubah intensitas atau arah aktivitas.

Proses perhatian sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku yang baru (kompetensi) tidak akan diperoleh tanpa adanya perhatian pembelajar. Proses retensi sangat penting agar pengkodean simbolik tingkah laku ke dalam visual atau kode verbal dan penyimpanan dalam memori dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini rehearsal (ulangan) memegang peranan penting.

Proses motivasi yang penting adalah penguatan dari luar, penguatan dari dirinya sendiri dan Vicarius Reinforcement (penguatan karena imajinasi). ebih lanjut menurut Bandura penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri yakni “sense of self efficacy” dan “self – regulatory system”. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku (Tim Pegadogig Unpad, 207: 10).

Teori tersebut lebih dominan dalam pembelajaran IPS, karena lebih menekankan pada sinergi antara sosial dengan pembelajaran. Keterkaitan antara kondisi sosial di masyarakat dengan IPS akan menjadikan siswa mempunyai sikap hidup yang perduli dengan lingkungan sosial yang ada di sekitarnya. Keperdulian yang ditanamkan dalam sikap siswa tersebut tidak mengesampingkan aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Keilmuan IPS secara teoritik tetap menjadi landasan awal pemahaman siswa terhadap kondisi masyarakat.

Teori belajar sosial yang menjadi landasan dari pembelajaran IPS, kemudian dimodifikasi dan dijabarkan dalam bentuk rencana pembelajaran, penyiapan media, dan mengelola strategi pembelajaran agar pembelajaran lebih efektif. Teori belajar sosial akan lebih dapat dimunculkan dalam pembelajaran IPS tanpa mengesampingkan teori pembelajaran yang lainnya. Mengkaitkan antara kehidupan sosial dengan pembelajaran secara kontekstual, akan menambah wawasan siswa terhadap pembentukan nilai sikap yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sosialnya.

Seperti yang telah diungkapkan pada awal analisis, bahwa teori belajar sosial tidak dapat berdiri sendiri untuk menjadi dasar dari proses belajar mengajar, namun juga dipengaruhi oleh teori pembelajaran yang lainnya walaupun prosentasenya tidak begitu dominan. Dalam evaluasi pembelajaran IPS dipengaruhi oleh teori behavioristik, karena lebih cenderung dengan test-test akademik. Dalam pembelajaran IPS juga harus mempertimbangkan teori humanistik dalam proses belajar mengajarnya, serta memperhatikan kawasan kognitif. Pembelajaran yang kontekstual yang diajarkan melalui pembelajaran IPS juga perlu diarahkan pada teori cybernetik agar pengetahuan siswa berada pada kawasan LTM (long term memory).

Pada dasarnya sebagai wacana akhir dalam analisis ini adalah berdasrkan dari sifat pembelajaran yang efektif dan karakteristik pembelajaran IPS, teori belajar yang lebih dominan adalah teori belajar sosial, dan disempurnakan dengan teori-teori pembelajaran yang lainnya sebagai kolaborasi yang sinergi dalam proses belajar mengajar.  Seperti yang dikatakan oleh Anita Woolfolk “Expert teachers not only know the content of subject they teach, they also know how to relate this content to world outside the classroom and how to keep students involved in learning.”

Pustaka :

Asri Budiningsih. (2005). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Bell Gredler, Margaret. (1994). Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Rustatiningsih. (2009).  Implikasi pendidikan, pembelajaran dan pengajaran. Diambil pada tanggal 6 Oktober 2009, dari: http://re-searchengines.com/ rustanti30708.html

Saidihardjo. (2004). Pengembangan kurikulum IPS. Yogyakarta: Universitas PGRI Yogyakarta.

Slameto. (2003). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta

Suciati. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.

Tim Pedagogig Unpad. (2007). Teori belajar. Diambil pada tanggal 6 Oktober 2009, dari: http://blogs.unpad.ac.id/aderusliana/?p=4

Utami Puji Lestari. (2008). Teori Belajar Kognitif.  Diambil pada tanggal 6 Oktober 2009, dari: http://teoripembelajaran.blogspot.com/2008 /04/teori-belajar-kognitif.html

Woolforlk, Anita. (2004). Educational psychology (ninth edition). United State of America: The Ohio State Universit

MATERI S2

TEORI BELAJAR KOGNITIF

Teori belajar kognitif menekankan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, namun tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dnegan tujuan pembelajarannya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak (Asri Budiningsih, 2005: 34).

Psikologi kognitif mengatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pada pandangan itu teori psikologI kognitif memandang beljar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam berpikir yakni pengolahan informasi (Utami Puji Lestari, 2008: 2).

Teori kognitif menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berinteraksi dengan seluruh konteks situasi. Memisah-misahkan materi pelajaran menjadi komponen yang kecil-kecil dan mempelajari secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat luas yang diterima dan menyesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di daam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Teori Piaget menyatakan perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya (Utami Puji Lestari, 2008: 2).

Lebih lanjut lagi Piaget berpendapat dalam bukunya Anita Woolfolk (2004: 41) ”Knowledge is not a copy of reality. To know an object, to know an evenent, is not simply to look at it and make a mental copy or image of it. To know an object is to act on it. To know is to modify, to transform the object, and to understand the process of this transformation, and as a consequence to understand the way the object is constructed.

Ilmu pengetahuan tidak hanya didasarkan pada melihat realita, namun untuk memahami akan objek, dan memahami tentang suatu keadaan memerlukan proses mental. Proses ini memerlukan modifikasi, transformasi objek, dan mengetahui proses transformasi tersebut sebagai konsekuensi untuk memahami tentang objek

Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses perubahan apa yang dialami sesuai dengan struktur kognitif yang ada sekarang, sementara akomodasi adalah proses perubahan struktur kognitif sehingga dapat dipahami. Apabila individu menerima informasi atau pegalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok dengan struktur kognitif yang telah dipunyai. Proses ini disebut asimilasi. Apabila struktur kognitif yagn sudah dimilikinya yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal ini disebut akomodasi (Suciati, 2005: 31).

Sebagaimana dijelaskan di atas, proses asimiliasi dan akomodasi mempengaruhi struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan kedewasaan anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu. Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-taap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat hirarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tetentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya.

Piarget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat (Suciati, 2005: 33) yaitu:

a.  Tahap sensori motor (0-2 tahun)

Pertumbuhan kemampuan anak tempat dari eaitan motorik dan persepsinya yang sederhana. Ciri pokok perkembangannya berdasaran tindakan, dan dilakukan angkah demi langkah.

b.  Tahap pra operasional (2-8 tahun)

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan simbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif.

c.   Tahap opeasional (8-11 tahun)

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah aak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis dan ditandai adanya kekekalan. Anak sudah meiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda yang bearsifat kongkret.

d.  Tahap oprasional formal (11-18 tahun)

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini aadlah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dan menggunaan pola berpikir

Proses belajar yang dialami seorang anank pada tahap sensorimotor tentu akan berbeda dengan proses beajar yang dialami oeh seorang anak pada tahap pra operasional, dan aka berbeda pula degan anak yang sudah berada pada tahap operasional, kongkret, maupun operasional formal. Semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang akan semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya.

Bruner mempunyai padangan bahwa belajar menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah aku seseorang. Proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya (Teori free discovery learning). Apabila Piaget mengatakan bahwa perkembangan kognitif sangat besar pengaruhnya tehadap perkembangan bahasa seseorang, maka Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif (Asri Budiningsih, 2005: 40).

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang dikemukakan oleh cara melihat lingkungan (Utami Puji Lestari, 2008: 9), yaitu: enactive, iconic dan symbolic.

a.  Tahap enaktif, apabila seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitar. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya.

b.  Tahap ikonik, apabila seseorang memahami objek-objek atau duianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Anak belajar melalui bentuk perumpamaan dan perbandingan.

c.   Tahap simbolik, apabila seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan absrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya daam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematia dan sebagainya menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam berpirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Penggunaan media daam egiatan pembelajarannya merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem enaktif dan ikoni dalam belajar (Asri Budiningsih, 2005: 42).

Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dnegan tahap perkembangan orang tersebut. Gagasannya mengenai kurikulum spiral sebagai suatu cara mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro, menunjukkan cara mengurutkan materi pelajaran mulai dari pengajarkan materi secara umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yan saa dalam cakupan yang lebih rinci. Pendekatan penataan materi dari umum ke rinci yang dikemukakannya dalam model kurikulum spiral merupakan bentuk penyesuaian antara materi yang dipelajari dengan tahap perkembagan kognitif orang yang belajar.

Teori-teori belajar yang ada selama ini masih banyak menekankan pada belajar asosiatif atau belajar menghafal. Belajar demikian tidak banyak bermakna bagi siswa. Belajar seharusnya merupaan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dalam bentuk struktur kognitif.

Struktur kognitif merupakan struktur organisasi yang ada dalam ingatan seseorang yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu konseptual. Teori kognitif banyak memusatkan perhatian pada onsepsi bahwa perolehan retensi pengetahua baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang dimiliki siswa (Asri Budiningsih, 2005: 44).

Pengetahuan diorganisasikan dalam ingatan seseorang dalam struktur hirarkis. Hal ini berarti bahwa pengetahuan yang lebih umum, inklusif dan abstrak membawahahi pengetahuan yang lebih spesifik dan kongkret. Pengetahuan yang lebih umum dan abstrak yang diperoleh lebih dulu seseorang, akan dapat memudahkan perolehan pengetahuan baru yang lebih rinci. Gagasannya mengenai cara mengurutkan materi pelajaran dari umum ke khusus, dari keseluruhan ke rinci yang sering disebut dengan subsumtive sequence menjadikan beajar lebih bermakna bagi siswa (Asri Budiningsih, 2005: 44).

Advance organizer yang juga dikembangkan oleh Ausubel merupakan penerapan konsepsi tentang struktur kognitif di dalam merancang pembelajaran. Penggunaan advace organizer sebagai kerangka isi akan dapat meningkatkan kemampuan siswa daam mempelajari informasi baru, karena merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep dasar tentang apa yang dipelajari, dan hubungannya dengan materi yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Apabila ditata dengan baik advance organizers akan memudahkan siswa mempeajari materi pelajaran yang baru, serta hubungannya dengan materi yang telah dipelajarinya (Asri Budiningsih, 2005: 44).

Aplikasi teori kognitif dalam pembelajaran lebih menekankan bahwa suatu aktifitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual dan proses internal. Dalam merumustkan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa.

 

Pustaka :

Asri Budiningsih. (2005). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Bell Gredler, Margaret. (1994). Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Rustatiningsih. (2009).  Implikasi pendidikan, pembelajaran dan pengajaran. Diambil pada tanggal 6 Oktober 2009, dari: http://re-searchengines.com/ rustanti30708.html

Saidihardjo. (2004). Pengembangan kurikulum IPS. Yogyakarta: Universitas PGRI Yogyakarta.

Slameto. (2003). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta

Suciati. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.

Tim Pedagogig Unpad. (2007). Teori belajar. Diambil pada tanggal 6 Oktober 2009, dari: http://blogs.unpad.ac.id/aderusliana/?p=4

Utami Puji Lestari. (2008). Teori Belajar Kognitif.  Diambil pada tanggal 6 Oktober 2009, dari: http://teoripembelajaran.blogspot.com/2008 /04/teori-belajar-kognitif.html

Woolforlk, Anita. (2004). Educational psychology (ninth edition). United State of America: The Ohio State University.

MAKALAH

IMPLEMENTASI TEORI BELAJAR DISIPLIN MENTAL DALAM PEMBELAJARAN IPS

BAB I

PENDAHULULAN

A. Latar Belakang Masalah

Belajar secara hakiki merupakan perubahan perilaku seorang individu baik secara kognitif, afektif dan psikomotor, secara menetap, dan bukan merupakan proses pertumbuhan. Pemahaman tentang belajar tersebut mensyaratkan adanya peningkatan kemampuan siswa dalam menguasai berbagai materi dan ketrampilan. Pembelajaran dikategorikan berhasil apabila siswa mendapatkan serangkaian tambahan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya dibandingkan dengan sebelum mendapatkan pembelajaran.

Banyak strategi, metode dan implementasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru untuk dapat meningkatkan kemampuan siswa. Teori-teori belajar banyak diterapkan dalam pembelajaran untuk memberikan landasan kepada guru menentukan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan sifat mata pelajarannya. Teori belajar yang beragam tentu saja menjadika guru perlu cermat dalam memilih teori pembelajaran yanga tepat dalam mengembangkan metode, strategi dan materi pembelajaran. Kesalahan dalam pemilihan penerapan teori pembelajaran menjadikan hasil yang diperoleh siswa dalam menyerap pembelajaran menjadi tidak maksimal.

Teori belajar yang dapat diterapkan oleh guru dalam pembelajaran salah satunya adalah teori disiplin mental. Teori yang tergolong dalam teori klasik ini memang pada awalnya tidak berdasarkan pada eksperimen, namun hanya berdasar pada pemikiran saja. Teori disiplin mental ternyata sampai saat ini masih diterapkan dalam pembelajaran modern, walaupun merupakan teori pembelajaran yang sudah lama ditemukan.

Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial tidak terlepas dari penerapan pembelajaran yang berbasis disiplin mental. Materi-materi pembelajaran disusun secara hirarki untuk dapat diberikan siswa secara bertahap dan terus-menerus. Karakteristik pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang lebih dominan dalam penguasaan materi, menjadikan teori disiplin mental mempengaruhi pengaruh untuk diterapkan dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Pemikiran tentang perlunya dikaji tentang pengaruh teori disiplin mental dalam pembelajaran mendasari penulisan makalah ini yang terfokus pada implementasi teori belajar mental dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

 

B. Batasan Masalah

Luasnya cakupan tentang permasalahan teori disiplin mental dalam  pembelajaran, menjadikan perlunya pembatasan permasalahan. Dalam makalah ini hanya akan dibahas tentang dekripsi teori disiplin mental dan implementasinya dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

 

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah: ”Bagaimana implementasi teori disiplin mental dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial?”

 

D. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi teori belajar disiplin mental dalam kaitannya dengan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

 

E. Manfaat Penulisan

Manfaat teoritik dalam penulisan makalah ini adalah untuk memberikan tambahan pengetahuan dan pemahaman tentang teori belajar disiplin mental, sedangkan manfaat secara praktis memberikan gambaran tentang implementasi dari teori disiplin mental untuk dapat dilaksanakan dalam proses belajar mengajar di sekolah.


BAB II

IMPLEMENTASI TEORI DISIPLIN MENTAL DALAM PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

A. Teori Belajar Disiplin Mental

Teori belajar disiplin mental berkembang sebelum abad ke-20. Teori ini tanpa dilandasi eksperimen, dan hanya berdasar pada filosofis atau spekulatif. Walaupun berkembang sebelum abad ke-20, namun teori disiplin mental sampai sekarang masih ada pengaruhnya, terutama dalam pelaksanaan pengajaran di sekolah-sekolah. Teori ini menganggap bahwa secara psikologi individu memiliki kekuatan, kemampuan atau potensi-potensi tertentu. Belajar adalah pengembangan dari kekuatan, kemampuan dan potensi-potensi tersebut.

Teori belajar disiplin mental, merupakan salah satu pandangan yang mula-mula memberikan definisi tentang belajar yang disusun oleh filsuf Yunani bernama Plato. Pandangan filsafatnya yaitu tentang idealisme yang melukiskan pikiran dan jiwa yang bersifat dasar bagi segala sesuatu yang ada. Idealisme hanyalah ide murni yang ada di dalam fikiran, karena pengetahuan orang berasal dari idea yang ada sejak kelahirannya. Belajar dilukiskan sebagai pengembangan olah fikiran yang bersifat keturunan. Kepercayaa ini kemudian dikenal sebagai konsep “disiplin mental” (Bell Gredler, 1994: 21).

Penganut belajar disiplin mental contohnya Jean Jacgues Rousseau yang menggangap anak memiliki potensi-potensi yang masih terpendam, melalui belajar, anak harus diberi kesempatan mengembangkan atau mengaktualkan potensi-potensi tersebut. Sesungguhnya anak memiliki kekuatan sendiri untuk mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri (Andi, 2009: 1).

Teori disiplin mental menekankan pada latihan mental yang diberikan dalam bentuk studi. Disiplin mental juga dikenal dengan ungkapan disiplin formal. Gagasan utama disiplin mental adalah pada otak atau pikiran, yang dianggap sebagai benda nonfisik, terbaring tidak aktif  hingga ia dilatih. Kecakapan pikiran atau otak seperti ingatan, kemauan, akal budi, dan ketekunan, merupakan “otot-ototnya” pikiran atau otak tadi. Otak dipersepsikan seperti otot-otot fisiologis yang bisa kuat jika dilatih secara bertahap dan terus menerus serta dengan porsi yang memadai, maka otot-otot pikiran atau otak pun demikian halnya. Otak manusia  bisa kuat dalam arti lebih tinggi kemampuannya jika dilatih secara bertahap dan memadai (Asri Trianti, 2008: 1).

Apabila belajar ditinjau dari teori disiplin mental maka belajar lebih ditekankan pada masalah penguatan, atau pendisiplinan kecakapan berpikir otak, yang pada akhirnya menghasilkan perilaku kecerdasan. Contohnya, dalam konteks komunikasi, kecakapan berkomunikasi seseorang pun bisa dilatih sejak dini supaya berhasil dengan baik. Tampaknya memang benar bahwa ahli-ahli komunikasi praktis seperti ahli pidato, ahli kampanye, ahli seminar, dsb. Semuanya merupakan hasil dari proses latihan. Latihan dalam hal keahlian ini identik dengan pengalaman. Semakin lama pengalaman seseorang di bidangnya maka semakin ahli orang yang bersangkutan.

Menurut teori disiplin mental, orang dianggap sebagai paduan dari dua jenis zat dasar, atau dua jenis realitas, yaitu pikiran rasional dan organisme biologis. Dengan begitu maka konsep animal rasional digunakan untuk mengenali manusia, sedangkan yang didisiplinkan atau dilatih melalui pendidikan adalah pikiran (Asri Trianti, 2008: 2).

Menurut konsep ini pada dasarnya manusia terbentuk dari dua zat yakni mental dan fisik secara berpadu. Bagaimana pun juga, pikiran dan badan atau zat rohaniah dan zat badaniah tidak mempunyai karakteristik umum (yang sama). Pemikiran akan konsep pikiran atau rohani sampai sekarang masih berlangsung, baik yang datangnya dari orang-orang primitif (yang mengatakan bahwa nyawa berpindah ketika sedang bermimpi), maupun konsep orang-orang sekarang yang lebih kompleks. Dalam hal ini orang melihat belajar sebagai proses perkembangan akibat dari adanya pelatihan pikiran atau otak. Dengan demikian maka belajar menjadi suatu proses yang terjadi di dalam di mana berbagai kekuatan seperti imajinasi, memori, kemauan, dan pikiran, diolah. Dan dari sana pendidikan pada umumnya dan belajar pada khususnya menjadi suatu proses disiplin mental.

B. Dua Aliran Teori Disiplin Mental

Teori disiplin mental setidaknya mempunyai dua versi pokok, yakni humanisme klasik dan psikologi kecakapan (faculty psychology). Masing-masing merupakan hasil dari perkembangan tradisi budaya yang berbeda. Humanisme klasik berasal dari Yunani kuno. Humanisme Klasik mempunyai dasar asumsi asumsi bahwa otak manusia merupakan satu pusat atau sentral yang aktif dalam berhubungan dengan lingkungannya, dan secara moral ia netral saat lahir. Humanisme adalah suatu pandangan dan jalan hidup yang berpusat pada kepentingan dan nilai-nilai manusia. Humanisme klasik itu hanya satu dari bentuk-bentuknya yang ada (Asri Trianti, 2008: 5).

Bentuk yang berlainan dari humanisme klasik adalah humanisme psikedelik (psychedelic humanism) dan humanisme saintifik (scientific humanism). Humanisme psikedelik menekankan kepada sifat-sifat keotonomian dan sifat-sifat aktif manusia dengan ciri “manusia melakukan dirinya sendiri”. Jenis humanisme ini meliputi psikologi belajar aktualisasi diri, yang memandang manusia sebagai individu yang baik dan aktif di dalam dirinya. Penekanan dalam belajarnya adalah pada pelatihan kekuatan mental secara internal. Jika seseorang ingin memiliki kecakapan atau keahlian di bidang tertentu, maka ia harus secara internal dan intensif, melatih dirinya di bidang tersebut, hingga mampu menguasainya. Jika Anda ingin menguasai bagaimana menyetir mobil, tentu harus berlatih sendiri secara intensif oleh Anda sendiri sampai bisa.

Humanisme Saintifik lebih menekankan kepada peningkatan kemampuan dengan jalan menerapkan proses pemecahan masalah secara ilmiah. Jenis humanisme ini sesuai juga dengan psikologi bidang Gestalt. Dengan berlatih menyelesaikan atau memecahkan masalah-masalah sosial, ujian, atau bidang permasalahan apapun, maka seseorang akan sampai kepada penguasaan atas permasalahannya tadi. Permasalahan yang lain pun pada akhirnya akan dapat dengan mudah diselesaikan.

Otak atau pikiran manusia dianggap sedemikian rupa sehingga dengan pengolahan yang memadai, otak dapat mengetahui dunia seperti pada kenyataannya. Manusia mempunyai kebebasan memilih dalam keterbatasan bertindak dilihat dari segi apa yang dipahaminya. Sebagai makhluk yang tidak hanya memiliki instink saja, orang lebih suka berusaha memahami sesuatu yang kompleks dan sulit-sulit, karena mempunyai dasar akal budi. Orang mampu berpikir rasa dan berpikir rasional. orang bertindak karena mereka paham akan apa yang dilakukannya. Dengan kata lain mereka menyadari akan perbuatannya, atau setidaknya mereka tahu dan berkeinginan untuk melakukan apa yang dikehendakinya.

Di dalam kerangka rujukan humanisme klasik, pengetahuan dianggap sebagai ciri bangun prinsip kebenaran yang pasti atau tetap, yang diteruskan sebagai warisan budaya atau sukunya. Prinsip prinsip ini telah ditemukan oleh para pemikir besar sepanjang sejarah manusia yang kemudian disusun ke dalam buku-buku besar. Menurut teori ini, kurikulum sekolah itu berdasar pada falsafah dan buku-buku klasik. Dan dalam hal ini, mempelajari buku-buku besar menjadi sesuatu yang penting. Contohnya misalnya di lembaga-lembaga pendidikan tradisional kita yang lebih menekankan kepada mempelajari buku-buku besar karangan para ahli di jaman lampau. Di lembaga-lembaga pesantren di Indonesia, sampai sekarang banyak yang mendasarkan diri pada buku atau kitab-kitab “kuning” sebagai bahan kajiannya.

Christian Wolff (1679-1754), seorang ahli filsafat Jerman, berpendapat bahwa pikiran atau otak manusia mempunyai kecakapan yang jelas dan berbeda-beda. Pada saat tertentu pikiran berada pada satu kegiatan khusus, dan pada saat lain terkadang sebagai bagian dari satu aspek dari kegiatan tertentu lain. Menurut Wolff, kecakapan dasar yang umum adalah: pengetahuan, perasaan, ingatan, dan akal budi inti. Sedangkan kecakapan akal budi meliputi kemampuan menggambarkan perbedaan-perbedaan dan menafsirkan atau menilai bentuk. Kecakapan kemauan dipercaya sebagai hasil perkembangan ide atau gagasan pikiran bahwa sifat manusia bisa dijelaskan melalui melihat dari segi prinsip ketidakbaikan (Asri Trianti, 2008: 7).

Sebenarnya disiplin mental telah ada sejak jaman kuno, dan pengaruhnya masih tampak dalam kegiatan komunikasi praktis, seperti di lingkungan pendidikan atau sekolahan, di lembaga lembaga non pendidikan, dan bahkan di organisasi-organisasi kemasyarakatan, sampai sekarang. Manusia mempunyai kelebihan dengan adanya kemampuan berpikir dan berakal budi, hal ini yang menyebabkan perkembangan yang berbeda. Sejak dahulu, semua binatang hanya mengandalkan instinknya saja dalam bergerak. Mereka tidak pernah ingin merubah kondisi kehidupannya untuk ditingkatkan sesuai dengan tuntutan jaman. Sedangkan pada manusia, karena mempunyai nafsu dan kemauan yang dibarengi dengan kemampuan akalnya, maka dunia dikuasainya untuk dibentuk sesuai dengan seleranya.

Semua perubahan-perubahan itu terjadi karena manusia selalu mengalami belajar, mengalamami perubahan perilaku ke arah yang lebih berkualitas, dalam rangka meningkatkan kemampuannya,  terutama kemampuan akal dan budinya. Kita bisa mengembangkan konsep ini secara aplikatif.  Disiplin mental yang sebenarnya disebut juga dengan disiplin formal yang selalu tampak dalam hampir semua aspek pembelajaran manusia. Artinya, ketika manusia melakukan belajar, ia selalu mengalami pelatihan secara displin, baik internal maupun eksternal. Contoh dalam tataran praktis keseharian. Olahragawan terkemuka biasanya hasil latihan yang disiplin. Ilmuwan terkemuka juga merupakan hasil kerja keras belajar secara disiplin. Tidak ada orang yang tiba-tiba menjadi ahli dalam bidang tertentu.

 

C. Penerapan Teori Belajar Mental dalam Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial

Teori belajar disiplin mental menjadi dasar untuk disusunnya strategi dan model pembelajaran untuk diterapkan bagi siswa. Model pembelajaran yang dimaksud adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang menggunakan pembelajara di kelas atau pembelajaran dalam tutorial serta untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran (Triyanto, 2007: 1).

Dalam kalangan anak-anak, baik di lingkungan keluarga ataupun di sekolah, hampir semua aspek pembelajaran bisa dilakukan dengan cara disiplin, seperti pembiasaan secara tetap akan suatu pekerjaan, latihan tetap terhadap suatu keterampilan, disiplin diri dalam bertindak, displin mengendalikan diri, bekerja keras dengan disiplin tetap, serta adanya arahan-arahan motivasi dari pihak lain. Semua itu jika dilakukan akan menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan unggul di bidang yang dikerjakannya atau dilatihnya secara disiplin tadi. Memang, pada asalnya disiplin dilakukan oleh adanya aturan-aturan eksternal, namun secara tidak langsung, jika hal itu dilakukan secara terus menerus dalam waktu yang lama, akan menghasilkan perilaku disiplin internal.

Suatu pekerjaan jika dikerjakan secara terus  menerus dengan frekuensi yang relatif tetap, akan menjadikannya seseorang menjadi terbiasa dengan pekerjaannya itu.  Disiplin juga tidak hanya untuk hal-hal yang bersifat praktis, namun juga dapat bersifat mental. Sebagai contohnya, dengan telah melakukan ‘hafalan’ secara disiplin terhadap perkalian angka 1 x 1, sampai dengan perkalian 10 x 10, maka kita sekarang tidak perlu berpikir lagi jika ditanya, 6 x 7, 8 x 9, atau 7 x 7. Kita bisa langsung menjawab hasilnya dengan benar. Itu semua akibat dari hasil belajar melalui pola disiplin mental ketika kita di SD dulu. Disiplin mental dikenal juga dengan disiplin formal.

Teori disiplin mental relevan apabila diterapkan dalam sistem pembelajaran, karena kriteria belajar bagi siswa adalah adanya perubahan perilaku pada diri individu, perubahan perilaku yang terjadi hasil dari pengalaman, dan perubahan tersebut relatif menetap (Suciati, 2005: 13). Berdasarkan kriteria tersebut tentu saja teori belajar disiplin mental dapat diterapkan sebagai media untuk menambah pengetahuan untuk perubahan perilaku individu secara menetap dan berdasarkan hasil pengalaman dalam proses belajar mengajar.

Dalam ranah pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, teori disiplin mental menjadi dasar dalam pembelajaran, yaitu dengan menggunakan strategi guru memberikan buku-buku yang relevan kepada siswa untuk dipelajari secara terus-menerus. Pembelajaran dengan teori ini, mengakselerasi siswa untuk selalu meningkatkan kemampuannya dan ketrampilannya dengan senantiasa belajar setiap hari, mempelajari materi-materi setiap hari, sehingga semua kompetensi yang distandarkan dapat dikuasai.

Standar kompetesi bahan kajian Pengetahuan Sosial dan Ilmu-Ilmu Sosial dan Kewarganegaraan (Arnie Fajar, 2009: 105), adalah:

1.  Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang sistem sosial dan budaya dan menerapkannya untuk:

a.  Mengembangkan sikap kritis dalam situasi sosial yang timbul sebagai akibat perbedaan yang ada di masyarakat;

b.  Menentukan sikap terhadap proses perkembangan dan perubahan sosial budaya;

c.   Menghargai keanekaragaman sosial budaya dalam masyarakat multikultural.

2.  Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang manusia, tempat dan lingkungan serta menerapkannya untuk:

a.  Meganalisis proses kejadian, interaksi dan saling ketergantungan antara gejala alam dan kehidupan di muka bumi dalam dimensi ruang dan waktu;

b.  Terampil dalam memperoleh, mengolah dan menyajikan informasi geografis.

3.  Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang perilaku ekonom da kesejahteraan serta menerapkanya untuk:

a.  Berperilaku yang rasional dan manusiawi dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi;

b.  Menumbuhkan jiwa, sikap dan perilaku kewirausahaa;

c.   Menganalisis sistem informasi keuangan lembaga-lembaga ekonomi;

d.  Terampil dalam praktik usaha ekonomi sendiri.

4.  Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang waktu, keberlanjuta dan perubahan serta menerapkannya untuk:

a.  Meganalisis keterkaitan antara manusia, waktu, tempat, dan kejadian;

b.  Merekonstruksi masa lalu, memaknai masa kini, dan memprediksi masa depan;

c.   Menghargai berbagai perbedaan serta keragaman sosial, kultural, agama, etnis dan politik dalam masyarakat dari pengalaman belajar peristiwa sejarah.

5.  Kemampuan memahami dan meninternalisasi sistem berbansa dan bernegara serta menerapkannya untuk:

a.  Mewujudkan persatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945;

b.  Membiasakan untuk mematuhi norma, menegakkan hukum, dan menjalankan peraturan;

c.   Berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat dan pemerintahan yang demokratis; menjunjung tinggi, melaksanakan dan menghargai HAM.

Berdasarkan karakteristik pembelajaran ilmu-ilmu sosial dan kewarganegaraan tersebut tentu saja teori disiplin mental sangat dominan dipergunakan dalam pembelajaran terutama permasalahan pengetahuan tentang masalah konsep-konsep. Pengertian, definisi, kriteria dan materi-materi pembelajaran yang perlu dikuasai tentu saja diperlukan penerapan teori disiplin mental dalam proses pembelajarannya.

Penerapan secara nyata dalam proses belajar mengajar yang berhubungan dengan disiplin mental dalam setiap mata pelajaran (misalnya pembelajaran tingkat SMP) sebagai berikut:

1.  Pembelajaran Ekonomi

Guru memberikan materi pembelajaran tentang sistem perilaku ekonomi dan kesejahteraan dengan memberikan pengertian tentang sistem berekonomi, ketergantungan, sesialisasi dan pemberian kerja, perkoperasian, kewirausahaan, dan pengelolaan keuangan perusahaan. Materi-materi tersebut dapat disampaikan siswa dengan menerangkan atau mengunakan buku dan diakhir pembelajaran siswa mengerjakan LKS sebagai tes hasil evaluasi.

2.  Pembelajaran Sejarah

Guru dapat menggunakan gambar dan media lain dengan memberikan materi tentang dasar-dasar ilmu sejarah, fakta, peristiwa dan proses sejarah. Siswa diakhir pembelajaran diminta untuk menerangkan kembali tentang pembelajan tersebut agar lebih memperdalam materi pembelajaran bagi siswa lainnya.

3.  Pembelajaran Geografi

Guru dapat menggunakan peta dan diskusi tentang materi sistem informasi geografi, interaksi gejala fisik dan sosial, struktur internal suatu temat, interaksi keruangan dan persepsi lingkungan dan kewilayahan. Guru dapat memberikan tugas dengan mempelajari materi lain untuk memerdalam materi.

4.  Pembelajaran PKn

Guru dapat mengunakan strategi belajar kelompok, untuk membahas tentang persatuan bangsa, nilai dan norma, hak asasi mausia, kebutuhan hidup, kekuasaan dan politik, masyarakat demokratis, Pancasila da konstitusi negara serta globalisasi. Guru kemudian dapat bertanya kepada siswa satu persatu untuk menjawab pertanyaa dari guru untuk mengukur kedalaman pemahama materi.

Teori disiplin mental juga dapat dilaksanakan dengan menggunakan pembelajaran dengan strategi eksositori. Model pengajaran ekspositori merupakan kegiatan yang terpusat pada guru. Guru aktif membeerikan penjelasan atau informasi tererinci tentang bahan pengajaran. Tujuan utama pengajaran ekspositori adalah memindahkan pengetahuan, ketrampila dan ilai-nilai kepada siswa. Hal yang esensial pada bahan pengajaran harus dijelaskan kepada siswa (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 172).

Guru juga dapat menggunakan strategi evaluasi dengan sistem menanyakan terus menerus pembelajaran yang dikuasai siswa secara lisan, sehingga guru dapat mengukur seberapa jauh siswa menguasai pembelajaran yang diberikan. Aplikasi pembelajaran dengan teori disiplin mental memang mengedepankan aspek penguasaan materi dan ketrampilan berdasarkan pada pengasahan otak dan penambahan materi  pembelajaran kepada siswa.

Teori disiplin mental dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial sesungguhnya banyak sekali sistem penerapannya. Fokus dari disiplin mental adalah memberikan peningkatan pengetahuan setiap waktu agar semakin lama siswa semakin memahami tentang materi pembelajaran. Peningkatan pengetahuan yang dilaksanakan secara bertahap penting dilaksaakan dalam teori disiplin mental. Tambahan pemahaman dan materi tersebut merupakan indikasi keberhasilan dari teori disiplin mental.

Teori disiplin mental apabila diimplementasikan dampak positifnya menjadikan siswa semakin hari-semakin meningkat kemampuannya dalam menguasai materi dan ketrampilan. Siswa menjadi disiplin untuk mempelajari materi pembelajaran setahap-demi setahap, dan semakin lama akan semakin banyak. Dampak negatif dari penerapan disiplin mental apabila dilaksanakan secara dominan dan tidak memperhatikan faktor-faktor psikologi akan menjadi siswa menjadi tegang, dan proses belajar mengajar tidak bervariatif. Segi kognitif siswa yang kadang-kadang tidak cocok dengan metode pembelajaran berbasis disiplin mental menjadi terbebani dengan pembelajaran tersebut.

 

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

 

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pembahasan tentang implementasi disiplin mental dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial antara lain:

1.     Teori disiplin mental adalah teori pembelajaran yang berasumsi bahwa otak manusia perlu senantiasa dilatih secara terus menerus dengan cara memberikan materi secara terus-menerus. Strategi pembelajaran disiplin mental dengan memberikan buku-buku literatur untuk dipelajari, melatih disiplin belajar, senantiasa terdapat pemantauan terhadap hasil belajar, disiplin kerja dan semua hal yang menyangkut kesiplinan dalam belajar.

2.     Implementasi teori disiplin mental dalam pembelajaran, khususnya dalam Ilmu Pengetahuan Sosial dilaksanakan dengan cara merancang materi-materi pembelajaran secara bertahap, kemudian memberikan materi-materi kepada anak, dan memberikan evaluasi berbasis disiplin mental. Materi-materi pembelajaran IPS dan Kewarganegaraan senantiasa diberikan kepada siswa agar siswa dapat menguasai semua materi pembelajaran.

3.     Kelebihan dari teori disiplin mental yang diimplementasikan kepada siswa antara lain siswa dapat  menguasai materi pembelajaran secara bertahap dan terus menerus, namun apabila teori belajar disiplin mental dilaksanakan secara dominan tanpa memperhitungan unsur psikologi menjadikan siswa terbeban pikirannya dan tidak mampu mengikuti pembelajaran secara maksimal.


B. Saran

Teori belajar disiplin mental memang tidak dapat terpisahkan dari proses belajar mengajar di lembaga pendidikan. Materi-materi pembelajaran yang harus dikuasai oleh siswa, mengimplementasikan teori pelajar disiplin mental. Guna memperoleh hasil belajar yang maksimal teori disiplin mental dalam pembelajaran tidak dilaksanakan secara murni dan mutlak. Teori disiplin mental dipadukan dengan teori disiplin lain, dan senantiasa mempertimbangkan segi-segi psikologi, strategi, metode, dan karakteristik pembelajaran yang sedang diajarkan.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Andi. (2009). Teori Belajar. Diambil pada tanggal 12 Oktober 2009, dari http://www.http://andi1988.wordpress.com/2009/01/28/teori-teori-belajar-2.

Arnie Fajar. (2009). Portofolio dalam pembelajaran IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Asri Buduningsih. (2006). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Asri Trianti. (2008). Teori disiplin mental. Diambil pada tanggal 12 Oktober 2009, dari: http://www.candilaras.co.cc/2008/05/teori-disiplin-mental.html

Bell Gredler, Margaret E. (1994). Belajar dan membelajarkan. (Terjemahan Munandir). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dimyati dan Mudjiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Made Pidarta. (2000). Landasan pendidikan stimulus ilmu pendidikan bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Slameto. (2003). Belajar dan fakto-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.

 

Suciati. (2005). Belajar dan Pembelajaran I. Jakarta: Universitas Terbuka.

 

Trianto. (2007). Model-model pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.

MATERI S2

SOCIAL STUDIES

Pendidikan IPS yang di Indonesia baru diperkenalkan di tingkat sekolah pada awal tahun 1970-an kini semakin berkemcang sejalan dengan perkembangan pemikiran tentang social studies di negara-negara maju dan tingkat permasalahan sosial. Istilah IPS merupakan nama mata pelajaran di tingkat sekolah dasar dan menengah. Nama IPS yang lebih dikenal dengan social studies (di negara lain) merupakan istilah hasil kesepakatan dari para ahli atau pakar di Indonesia dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu, Solo. IPS sebagai mata pelajaran di sekolah, pertama kali digunakan dalam kurikulum 1975.

Guna memahami alasan IPS dipilih menjadi program studi di Pendidikan Dasar dan Menengah perlu menurut sejarah dari social studies karena perkembangan social studies menjadi cikal bakal kurikulum IPS di Indonesia. Pengertian social studies sejak kelahirannya terdapat dalam buku karya Saxe berjudul Social Studies in Schools: A History of A Early Years. Menurut Saxe pengertian IPS menegaskan bahwa sosial studies sebagai upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk penggunaan secara pedagogik. Selanjutnya pengertian ini menjadi dasar dalam dokumen “Statement of the Chairman of Committeeo on Social Studies” yang dikeluarkan oleh Committee on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam dokumen tersebut IPS merupakan bidanga khusus dalam pemanfaatan data ilmu-ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia).

Pada tahun 1921, berdirilah National Council for the Social Studies (NCSS), sebuah organisasi profesional yang secara khusus membina dan mengembangkan Social Studies pada tingkat pendidikan dasar dan menengah serta keterkaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu pendidikan. Pada perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya NCSS, pengertian social studies menjadi bidang kajian yang terintegrasi sehingga mencakup disiplin ilmu yang semakin meluas. Pada tahun 1993 NCSS merumuskan social studies sebagai berikut:

Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such diciplines as antrhopology, archaelogy, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help youg people develop the ability to make informed and reasoned dicisions for the public good as citizen of a culturally diverse, democratic socety in an interpedent world.

Pendidikan IPS di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari dokumen kurikuluml 1975 yang memuat IPS sebagai mata peljaran untuk pendidikan di sekolah dasar dan menengah. Gagasan IPS di Indonesia pun banyak megadopsi dari sejumlah pemikiran perkembangan social studies yang terjadi di luar negeri terutama perkembangan NCSS sebagai organisasi profesional yang cukup besra pengaruhnya dalam memajukan social studies bahkan sudah mampu mempengaruhi pemerintah dalam menentukan kebijakan kurikulum persekolahan.

Definisi Ilmu Pengetahuan Sosial adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis untuk tujuan pendidikan. Pendidikan IPS untuk tingkat sekolah sangat erat kaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial yang terintegrasi dengan humaniora dan ilmu pengetahuan alam yang dikemas secara ilmiah dan p edagosis untuk kepentingan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu IPS di tingkat sekolah pada dasarnya bertujuan untuk mempersiapkan para peserta didik sebagai warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat diguakan seagai kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi atau masalah sosial serta kemampuan mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan agar menjadi warga negara yang baik.

Dengan mempertimbangkan semakin kompleksnya permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, maka pada tahun 1970-an mulai diperkenalkan Pendidikan IPS (PIPS) sebagai pendidikan disiplin ilmu. Gagasan tentang PIPS ini membawa implikasi bahwa PIPS memiliki kekhasan dibandingkan dengan mata pelajaran lain sebagai pendidikan disiplin ilmu, yakni kajian yang bersifat terpadu (integrated), interdisipliner, multidimensional bahkan cross disipliner. Karakteristik ini terlihat dari perekmbangan PIPS sebagai mata pelajaran di sekolah yang cakupan materinya semakin meluas seiring dengan semakin kompleksnya dan rumitnya permasalahan sosial yang memerlukan kajian secara terintegrasi  dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial,k yaitu ilmu pengetahuan alam, teknologi, humaniora, lingkungan bahkan sistem kepercayaan.

 

Sumber:

Sapriya. 2009. Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya

 

MATERI S2

KONTRIBUSI ILMU-ILMU DALAM IPS TERPADU

a.  Ilmu Politik

Bidang khusus ilmu politik meliputi pusat perhatiannya tentang tingkatan pemeritahan (atau organisasi politik lainnya) atau berbagai fungsi pemerintahan. Bidang-bidang perhatian khusus yang didasarkan pada tingkatan pemerintahan meliputi negara dan pemerintah daerah, pemerintah pusat (nasional) hubungan internasional (politik internasional). Bidang kajian khusus yang didasarkan pada fungsi-fungsi pemerintahan meliputi proses pelaksanaan bdadan legistlatif (pembuatan undang-undang), sistem peradilan (interpretasi udnang-undang), dan proses eksekutif (pelaksanaan undang-undang).

Seperti halnya ahli ekonomi dan sejarahwan, para ilmuwan politik dapat dibdakan atas dua ajaran berdasarkan pada kekuatan komitmennya pada metode ilmiah. Ilmuwan politik tradisional mempertanyakan masalah-masalah dan menggunakan teknik-teknik untuk menjawab pertanyaan yang lebih banyak mengandung ciri-ciri humanitis daripada ilmu-ilmu sosial. Mereka tertarik, misalnya dengan gambaran bentuk ideal pemerintahan yang seharusnya dijalankan (ideologi politik) atau dalam menerapkan ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah kebijakan umum dan memprakarsai reformasi sosial. Sebaliknya, ilmuwan politik ilmiah (atau aliran perilaku behavioral) membatasi bidang garapannya terhadap kajian perilaku politik manusia secara empiris. Kaum behabioris menyelidiki topik-topik seperti perilaku dalam p emungutan suara, pendapat umum, dan perilaku politik perbandingan. Mereka membatasi kajiannya tentang apa dan tidak berusaha untuk menentukan apa seharusnya.

 b.  Sosiologi

Ahli sosiologi mempelajari perilaku manusia dalam kelompok-kelompok. Perhatian utamanya adalah dalam hubungan sosial manusia-perilaku manusia seperti diwujudkan sendiri dalam perkembangan dan fungsi dari kelompok institusi. Kelompok-kelompok dapat mencakujp kelompok yang terjadi secara alamiah-seperti keluarga, para pekerja dalam organisasi, atau gerakan kerusuhan- atau kelompok-kelompok yang dibentuk untuk tujuan mengadakan penelitian imiah “di dalam laboratorium” (seperti keompok pengambilan keputusan atau pemecahan masalah). Institusi-institusi kepentingan umumnya mencakup sekolah-sekolah, media masa, kelas-kelas sosial, organisasi perusahaan, dan penjara-penjara. Perhatian sosiologi meliputi pula bagaimana kelompok-kelompok  dan institusi-institusi berinteraksi. Para ahli sosiologi bisa mengkhususkan dalam bebeapa bidang, seperti keluarga, kriminologi, komuikasi, pendapat umum, organisasi yang kompleks, hubungan ras, etnik, peranan jenis kelamin, demografi (kependudukan), pendidikan, perilaku kelompok kecil, stratifikasi sosial, sosiologis medis, dan sosiologi bidang pekerjaan atau profesi.

 c.  Antropologi

Para ahli antropologi mempelajari tentang budaya manusia. Mereka tertarik dengan kebudayaan prasejarah (kebudayaan yang diciptakan sebelum lahirnya zaman sejarah) juga kebudayaan pada zaman modern saat ini. Mereka mengkaji kebudayaan pada semua tingkat perkembangan teknologi, dan zaman berburu, dan jaman pengumpulan makanan sampai zaman bercocok tanam serta zaman industri.

Para ahli antropologi dapat dibdakan ke dalam beberapa spesialisasi. Pertama, ahli antropologi sosial (antropologi budaya) mempelajari tentang kelompok-kelompok manusia yang ada saat ini yang menggunakan cara hidup tertentu. Mereka dapat mengkaji budaya manusia tertentu dengan cara mempelajari bagaimana bagian-bagian budaya itu bisa cocok dalam membentuk keseluruhan budaya manusia yang bermakna atau mereka dapat memilih dan mempelajari sejumlah kebudayaan berdasarkan pola-pola perilaku untuk mendapatkan perspektif antar budaya tentang kondisi manusia. Kedua, ahli etnografi adalah seorang ahi antropologi yang punya spesialisasi dalam mengumpulkan informasi tentang segala aspek budaya yang ada melalui kerja lapangan. Ketiga, ahli antropologi bahasa mempelajari bahasa-bahasa yang digunakan manusia dnegna fokus kajian pada penggunaan bahasa dalam konteks sosial.

Keempat, ahli antropologi fisik (biologi) menggunakan tehnik-teknik ilmu pngetahuan alam dalam studi makhluk hidup maupun yang sudah berupa fosil atau primat binatang seperti kera atau monyet. Kelima, ahli arkeologi menggunakan teknik-teknik penggalian dan analisis ilmiah sisa-sida fisik makhluk hidup untuk merekonstruksi cara hidup manusia yanga telah musnah. Keenam, ahli primatologi meliputi ahi antropoogi yang mempelajari perilaku kelompok primat. Tegasnya, tiga spesialis terakhir ini lebih menyerupai ilmu-ilmu alam daripada ilmu-ilmu sosial dalam fokus dan metode kajiannya.

 d.  Psikologi

Para ahli psikologi mempelajari perilaku individu-individu  dan kelompok-kelompok kecil individu. Disiplin ini terkadang didefinisikan untuk meliput semua bentuk perilaku: manusia dan bukan manusia, manusia normal dan abnormal, individu dan kelompok, fisik dan mental, dan secara instink maupun dengan cara dipelajari. Secara tradisi, para ahli psikologi telah mempelajari tentang belajar, pertumbuhan dan perkembangan, berikir, perasaan, perilaku kelompok, perkembangan kepribadian dan perilaku abnormal.

Lapangan spesialisasi dalam psikologi meliputi beberapa yang berorientasi pada ilmu sosial. Berikut ini adalah beberapa contoh yang termasuk ilmu sosial. Ahli psikologi perkembangan mengkaji semua aspek perilaku perkembangan manusia selama rentang hidupnya. Ahli psikologi eksperimen menggunakan pendekatan penelitian eksperimental untuk mempelajari perilaku manusia secara individu. Ahli psikologi sosial tertarik dengan perilaku manusia atau kelompok-kelompok. Ahli psikologi kepribadian, mempelajari perkembangan dan hakikat kepribadian manusia. Ahli psikologi pengetahuan tertarik dengan bagiamana manusia berpikir dan belajar. Ahli psikologi klinis meliputi perilaku manusia terdidik yang atidak normal.

 e.  Sejarah

Sejarah adalah studi tentang kehidupan manusia di masa lampau. Para sejarahwan tertarik dengan semua aspek kehidupan manusia di masa lampau: politik, hukum, militer, sosial, keagamaan, keilmuan dan intelektual. Seorang sejarahwan mungkin mengkhususnya pada satu atau lebih dari aspek-aspek kegiatan manusia, pada sejarah negara tertentu atau wilayah geografis, pada periode waktu tertentu, pada peristiwa-peristiwa penting, atau kepribadian orang terkemuka.

Ada perdebatan tentang apakah kajian sejarah ini lebih tepat digolongkan sebagai ilmu sosial atau salah satu bagian dari humaniora. Masalah ini muncul disebabkan adanya beberapa keterbatasan yang dihadapi oleh para sejarahwan dalamusaha menggambarkan kehidupan masa lampau secara cermat dan ilmiah. Salah satu keterbatasannya adalah kurangnya catatan-catatan yang lengkap dari peristiwa-peristiwa masa lalu. Masalah ini merupakan keterangan yang sangat penting bagi sejarahwan dalam mengkaji kehidupan manusia pada zaman prasejarah, yakni manusia yang hidup sebelum ditemukannya tulisan.

 f.   Pendidikan

Secara sederhana dan umum, pendidikan bermakna sebagai usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik jasmani maupun rohani, sesuai dengan nilai-nilai yang ada di daam masyarakat dan kebudayaan. Berdasarkan beberapa definisi pendidikan maka dapat diikkhtisarkan bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai (1) suatu p roses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan; (2) suatup engarahan dan bimbinga yang diberikan kepada siswa dalam pertumbuhannya; (3) suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertetu yang dikehendaki oleh masyarakat; (4) suatu pembentukan karakter, kepribadian dan kemampuan anak-anak dalam menuju kedewasaan.

 g.  Sastra

Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar sas yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.

 h.  Seni

Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreatifitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya, masih bisa dikatakan bahwa seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu, untuk menyampaikan baik kepercayaan, gagasan, sensasi, atau perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu. Sekalipun demikian, banyak seniman mendapat pengaruh dari orang lain masa lalu, dan juga beberapa garis pedoman sudah muncul untuk mengungkap gagasan tertentu lewat simbolisme dan bentuk (seperti bakung yang bermaksud kematian dan mawar merah yang bermaksud cinta).

Peranan ilmu-ilmu sosial tersebut sampai saat ini tetap menjadi konten utama untuk social studies atau PIPS. Norman MacKenzie merumuskan disiplin ilmu sosial sebagai “all the academic disciplines which deal with men in their social context” artinya semua disiplin akademik yang berkaitan dengan manusia dalam konteks sosial. Setiap disiplin ilmu sosial memiliki  konsep-konsep, generalisasi dan teori yang dapat memberikan kontribusi daam penyusunan disain maupun dalam pelaksanaan proses belajar mengajar IPS pada sekolah dasar dan menengah. Pada hakekatnya, semua disiplin ilmu sosial tersebut memiliki objek kajian yang sama, yakni manusia.

Rujukan bacaan:

Choirul Mahfud. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sapriya. 2009. Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya

Internet http://www.wikipedia.com

 

TIPS

NATURAL SCIENCE, SOSIAL SCIENCE, DAN HUMANIORA

A.  Natural Science dan Social Science

Ilmu berkembang dengan pesat sering dengan penambahan jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaah yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan seksama menyebabkan objek forma dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam atau the natural sciences dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial atau the social sciences (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 93).

Ilmu-ilmu alam  membagi diri kepada dua kelompok lagi yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta, sedangkan ilmu alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit, dan ilmu bumi yang mempelajari bumi (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 93). Tiap-tiap cabang kemudian membikin ranting-ranting baru seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan dan magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik (ilmu-ilmu murni).

Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis yang belum dikaitkan dengan masalah-masalah kehidupan yang bersifat praktis. Ilmu terapan merupakan aplikasi ilmu murni kepada masalah-masalah kehidupan yang mempunyai manfaat praktis (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 94).

Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibanding dengan ilmu-ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia) ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara) (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 94). Cabang utama ilmu-ilmu sosial ini kemudian mempunyai cabang-cabang lain seperti antropologi terpecah menjadi lima yakni arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi dan antropologi sosial/kultural (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 95).

Munculnya persoalan epistemologi bukan mengenai suatu prosedur penyelidikan ilmiah, tetapi dengan mempertanyakan “mengapa prosedur ini bukan yang lain”. Dalam konteks ilmu sosial, filsafat mempertanyakan metode dan prosedur yang dipergunakan peneliti sosial dari disiplin sosial (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 46). Ilmu alam  memang terkait secara pokok dalam positivistik, mempelajari sesuatu yang objektif, tidak hidup, dunia fisik. Kajian masyarakat, hasil akal manusia, adalah subjektif, emotif bersifat subyektif. Tingkah laku masyarakat adalah selalu mengandung nilai, dan pengetahuan reliabel tentang kebudayaan hanya dapat digapai dengan cara mengisolasi ide-ide umum, opini atau tujuan khusus masyarakat. Hal tersebut membuat tindakan sosial adalah penuh bermakna subyektif.

Alat untuk memperoleh pengetahuan sangat tergantung dari asumsi terhadap objek. Demikian juga telaah dalam filsafat ilmu, sarana dan alat untuk memproses ilmu harus konsisten dengan karakter objek material ilmu. Berdasarkan kondisi tersebut terdapat perbedaan paradigma yang disebabkan oleh karakter objek yang berbeda. Misalnya antara ilmu alam dan ilmu sosial yang terdapat perbedaan metode dan sarana yang dipakai (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 47).  Objek material adalah bahan yang dijadikan sasaran penyelidikan (misalnya ilmu kedokteran, ilmu sastra, psikologi) sedangkan objek formal adalah sudut pandang tertentu terhadap objek materialnya misalnya ilmu kedokteran objek formalnya keadaan fisik manusia (Lasiyo dan Yuwono, 1984: 5).

Hindes Barry (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 47) menyatakan bahwa keabsahan yang merupakan bukti bahwa suatu ilmu adalah benar secara epistemologis bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar, melainkan hasil dari metode penyelidikan dan hasil penyelidikan. Oleh karena itu masalah keabsahan apakah ukurannya cocok tergantung pada metode dan karakter objek, sehingga jenis ilmu yang satu dan lainnya tidak sama. Dengan kata lain seseorang tidak bisa menguji metode dan hasil ilmu yang satu dengan menggunakan ilmu lainnya.

Kajian tersebut dapat menjadi dasar perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial berdasarkan perspektif epistimologi yaitu:

1). Ilmu-Ilmu Alam

Ilmu alam merupakan ilmu yang mempelajari objek-objek empiris di alam semesta ini. Ilmu alam mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan objek telaahnya maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat empiris. Objek-objek yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia tidak termasuk bidang penelaahan ilmu (Yuyun S, 1981: 6).

Ilmu alam mempunyai asumsi mengenai objek, antara lain:

  1. Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, yaitu dalam hal bentuk struktur dan sifat, sehingga ilmu tidak bicara mengenai kasus individual melainkan suatu kelas tertentu.
  2. Menanggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kelestarian relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan dilakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
  3. Menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dan urut-urutan kejadian yang sama (Yuyun S, 1981: 7).

Dalam pandangan empirisme ilmu tidak menuntut adanya hubungan kausalitas yang mutlak, sehingga suatu kejadian tertentu harus diikuti oleh kejadian yang lain, melainkan bahwa suatu kejadian mempunyai kemungkinan besar untuk mengakibatkan terjadinya kejadian lain. Ilmu tentang objek empiris pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan, hal ini perlu sebab kejadian alam sangat kompleks. Kegiatan yang dilakukan dalam ilmu alam tidak merupakan objek penelitian ilmu alam, sebab praktek ilmu alam merupakan suatu aktivitas manusia yang khas. Manusia memang dapat terlibat sebagai subjek dan sebagai objek, dengan kata lain manusia adalah mempraktekkan dan diprakteki (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 49).

2). Ilmu-ilmu Sosial

Ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya, baik perseorangan maupun bersama, dalam lingkup kecil maupun besar. Objek material ilmu sosial lain sama sekali dengan objek material dalam ilmu alam. Objek material dalam ilmu sosial adalah berupa tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia, bebas dan tidak deterministik (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 49).

Kajian yang berbeda-beda terhadap ilmu merupakan konsekuensi dari perbedaan objek formal. Objek ilmu sosial yaitu manusia sebagai keseluruhan. Penelitian dalam ilmu sosial juga menimbulkan perbedaan pendekatan. Dalam ilmu manusia praktek ilmiah sebagai aktivitas manusiawi merupakan juga objek penelitian ilmu manusia, misalnya psikologi, psikis, sosiologis, dan sejarah. Spesifikasi ilmu sejarah adalah data peninggalan masa lampau baik berupa kesaksian, alat-alat, makam, rumah, tulisan dan karya seni, namun objek ilmu sejarah tidak dapat dikenai eksperiment karena menyangkut masa lampau. Kondisi tersebut yang mempengaruhi kemurnian objek manusiawi berkaitan dengan sikap menilai dari subjek penelitian, maka objektivitas ilmu sejarah sebagai ilmu kemanusiaan (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 51).

Klaim terhadap ilmu-ilmu sosial kadang dinilai gagal dalam menangkap kekomplekan gejala, didasarkan pada kegagalan dalam membedakan antara pernyataan beserta sistematika yang dipakai dengan gejala sosial yang dinyatakan oleh pernyataan tersebut. Tidak semua argumentasi tentang kerumitan gejala sosial yang menyebabkan ketidakmungkinan ilmu-ilmu sosial. Rangkaian argumentasi yang lain didasarkan pada tuduhan bahwa metode keilmuan tidak mampu untuk menangkap “keunikan” gejala sosial dan manusiawi. Penelaahan sosial tertarik kepada keungikan tiap-tiap kejadian sosial, padahal metode keimuan hanya mampu mensistematikakan berdasarkan generaslisasi, maka keadaan in menyebabkan harus ditetapkannya metode yang lain dalam ilmu-ilmu sosial (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 143).

Objek penelaahan Ilmu Sosial mempunyai karakter (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 134) di bawah ini:

1). Objek Penelaahan yang Kompleks

Gejala sosial lebih kompleks dibandingkan dengan gejala alam. Ahli ilmu alam berhubungan dengan satu jenis gejala yakni gejala yang bersifat fisik. Gejala sosial juga mempelajari karakteristik fisik namun diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk mampu menerangkan gejala tersebut. Guna menjelaskan hal ini berdasarkan hukum-hukum seperti yang terdapat dalam ilmu alam tidaklah cukup.

Ahli ilmu alam berhubungan dengan gejala fisik yang bersifat umum. Penelaahannya meliputi beberapa variabel dalam jumlah yang relatif kecil yang dapat diukur secara tepat. Ilmu-ilmu sosial mempelajari manusia selaku perseorangan maupun selaku anggota dari suatu kelompok sosial yang menyebabkan situasi yang bertambah rumit. Variabel dalam penelaahan sosial adalah relatif banyak  kadang-kadang membimbingkan peneliti.

Apabila seorang ahli kimia mencampurkan dua buah zat kimia dan meledak, hal itu dapat dijelaskan dengan tepat dalam ilmu alam, namun apabila terjadi kejahatan, maka kajiannya terdapat faktor yang banyak sekali untuk dijelaskan. Faktor-faktor penjelas yang dimaksud antara lain, apa latar belakang kejahatan, bagaimana latar belakang psikologi orang, mengapa harus memilih  melakukan kejahatan dan sebagainya. Tingkat-tingkat kejadian suatu peristiwa sosial selalu menyulitkan ahli ilmu sosial untuk menetapkan aspek-aspek apa saja yang terlibat, pola pendekatan mana yang paling tepat dan variabel-variabel apa saja yang termasuk di dalamnya.

2). Kesukaran dalam Pengamatan

Pengamatan langsung gejala sosial lebih sulit dibandingkan dengan gejala ilmu-ilmu alam. Ahli ilmu sosial tidak mungkin melhat, mendengar, meraba, mencium atau mengecap gejala yang sudah terjadi di masa lalu. Serorang ahli pendidikan yang sedang mempelajari sistem persekolahan di zaman penjajahan dulu tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri kejadian-kejadian tersebut. Keadaan ini berbeda dengan seorang ahli kimia yang bisa mengulang kejadian yang sama setiap waktu dan mengamati suatu kejadian tertentu secara langsung.

3). Objek Penelaahan yang Tak Terulang

Gejala fisik pada umumnya bersifat seragam dan gejala tersebut dapat diamati sekarang. Gejala sosial banyak yang bersifat unik dan sukar untuk terulang kembali. Abstraksi secara tepat dapat dilakukan terhadap gejala fisik melalui perumusan kuantitatif dan hukum yang berlaku umum. Masalah sosial sering kali bersifat spesifik dan konteks historis tertentu. Kejadian tersebut bersifat mandiri. Bervariasinya kejadian-kejadian sosial ditambah dengan sulitnya pengamatan secara langsung waktu penelaahan dilakukan menyebabkan sukarnya mengembangkan dan menguji hukum-hukum sosial.

4). Hubungan antara Ahli dan Objek Penelaahan Sosial

Gejala fisik seperti unsur kimia bukanlah suatu individu melainkan barang mati. Ahli ilmu alam tidak usah memperhitungkan tujuan atau motif dari planet. Ahli sosial mempelajari manusia yang merupakan makhluk yang penuh tujuan dalam tingkah laku. Manusia bertindak sesuai dengan keinginannya dan mempunyai kemampuan untuk melakukan pilihan atas tindakan yang akan diambilnya. Hal ini menyebabkan manusia dapat melakukan perubahan dalam tindakannya. Kondisi ini menyebabkan objek penelaahan ilmu sosial sangat dipengaruhi oleh keinginan dan pilihan manusia maka gejala sosial berubah secara tetap sesuai dengan tindakan manusia yang didasari keinginan dan pilihan tersebut.

Ahli ilmu alam menyelidiki proses alami dan menyusun hukum yang bersifat umum mengenai proses. Ahli alam tidak bermaksud untuk mengubah alam atau harus setuju dan tidak setuju dengan proses tersebut. Ahli ilmu alam hanya berharap bahwa pengetahuan mengenai gejala fisik dari alam akan memungkinkan manusia untuk memanfaatkan proses alam. Ahli ilmu sosial tidaklah bersikap sebagai penonton yang menyaksikan suatu proses kejadian sosial.

Ahli ilmu alam mempelajari fakta  dan memusatkan perhatiannya pada keadaan yang terjadi pada alam. Ahli ilmu sosial juga mempelajari fakta umpamanya mengenai kondisi-kondisi yang terdapat dalam suatu masyarakat. Peneliti mencoba untuk tidak terlibat dalam pola yang ada di masyarakat, namun kadang peneliti kemudian mengembangkan materi berdasarkan penemuannya tersebut untuk dapat diaplikasikan kepada masyarakat.

Perbedaan-perbedaan secara epistemologi tersebut dapat dijadikan asumsi bahwa pada pengkajian ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tidak dapat disamakan. Metode dalam pengkajian ilmu-ilmu alam berbeda objeknya sehingga akan menyebabkan perbedaan cara pengkajian.

 

2. Humanioria

Humaniora adalah disiplin akademis yang mempelajari kondisi manusia, menggunakan metode analitik, kritis, atau spekulatif, yang membedakan dari pendekatan empiris terutama ilmu-ilmu alam dan sosial.
Contoh disiplin humaniora yang kuno dan modern adalah: bahasa, sastra, hukum, sejarah, filsafat, agama, dan seni visual dan pertunjukan (termasuk musik). Terdapat bidang kajian yang lainnya yang kadang dimasukkan dalam bidang humaniora dianttaranya  teknologi, antropologi, studi wilayah, komunikasi, studi budaya, dan linguistik, meskipun hal ini sering dianggap sebagai ilmu-ilmu sosial.

Apa yang membedakan humaniora dari ilmu-ilmu alam bukan suatu hal yang pokok, melainkan cara pendekatan dalam mempertanyakan tentang kajian ilmu. Humaniora terfokus pada pemahaman makna, tujuan, dan sasaran yang lebih jauh dan apresiasi dari sejarah dan sosial dengan menggunakan metode fenomena yang interpretatif untuk mencari “kebenaran”. Humaniora menawarkan berbagai jenis keunikan, kesenangan, kenikmatan. Kesenangan tersebut sesuai dengan peningkatan privatisasi, penggunaan waktu luang dan kepuasan instant.

Sumber Rujukan:

Jujun S. Suriasumantri. 2005. Filsafat ilmu sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

————–. 2006. Ilmu dalam perspektif sebuah kumpulan dan karangan tentang hakekat ilmu. Yogyakarta:  Liberty.

Lasiyo dan Yuwono. 1984. Pengantar Ilmu filsafat. Yogyakarta: Liberty.

Tim Dosen Filsafat Ilmu. 2007. Filsafat ilmu sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan. Yogyakarta: Liberty.

Yuyun S. 1981. Ilmu dalam perspektif. Yogyakarta: Gramedia.

Internet. http://www.wikipedia.com

MATERI S2

AMERIKA GAGAL MEMPERTAHANKAN VIETNAM SELATAN

Menganalisis permasalahan kajian aktual, yang mengkorelasikan peristiwa Amerika Serikat yang gagal mempertahankan Vietnam Selatan, dapat dikaji melalui sudut padang politik antarbangsa. Ketidakterlibatan Indonesia dalam permasalahan Amerika dan Vietnam Selatan secara moril tidak akan membawa dampak kredibilitas   Indonesia. Namun,   apabila     sudut pandang kajian diarahkan kepada permasalahan sejarah tentang komunisme di Indonesia, tentu masih terdapat benang merah dari dampak gagalnya Amerika Serikat dalam mempertahankan Vietnam Selatan. Amerika Serikat yang gagal membendung kekuatan Vietnam Utara yang berbasiskan komunisme yang didukung oleh  Republik Rakyat Cina dan Uni Soviet dapat menjadi inspirasi sisa-sisa komunisme yang ada di Indonesia.

Dalam buku “Amerika Gagal Mempertahankan Vietnam Selatan” dipaparkan secara detail berbagai permasalahan tentang gerakan komunisme di Vietnam, rejim Vietnam sesudah perjanjian Jeneva serta jatuhnya rejim Vietnam Selatan ke tangan Komunis. Buku yang ditulis dengan bahasa lugas dengan enam bab sebagai pendukung landasan historis ini, sengaja ditulis untuk memaparkan bagaimana kondisi strategi Amerika Serikat baik secara politis maupun kekuatan senjata untuk membendung komunisme, walaupun akhirnya harus mengalami kegagalan.

Kajian awal pada bab pertama memberikan gambaran bagaimana latar motivasi Amerika Serikat untuk mempertahankan Vietnam Selatan sebagai strategi untuk membendung kekuatan komunisme dari Vietnam Utara yang notabene didukung oleh Republik Rakyat Cina dan Uni Soviet. Kajian sejarah yang mengangkat peristiwa proteksi Amerika Serikat terhadap Vietnam Selatan pasca perang dunia II tahun 1954, juga disajikan gambaran perang yang telah berjalan sembilan tahun sejak bulan Juli 1965.

Komitmen Ho Chi Minh untuk memperjuangkan keutuhan Vietnam dengan menghapuskan stratifikasi masyarakat dengan basis sosialisme menjadi awal untuk menganalisis tentang berbagai permasalahan di Vietnam. Idealisme komunisme yang telah mengakar dalam Ho Chi Minh sepaham dengan kehendak masyarakat dalam mempersiapkan kemerdekaan mengusir penjajah sekitar tahun 1940 yang dimotori oleh Gerakan Nasional Vietnam yang bernuansa komunisme.

Kesamaan tujuan untuk mengusir penjajah, menjadikan nasionalis dan komunis banyak mempunyai persepsi bersama sehingga keduanya tidak banyak mempunyai beda komitmen. Bila ditinjau dari ajarannya tentu saja komunisme mempunyai spesifikasi gerakan yang berhaluan ekstrim dan dapat menghalalkan segala cara sehingga dalam perjuangannya sering menggunakan kekerasan peperangan kelas maupun revolusi. Dalam gerakan komunisme rakyat atau petani pedesaan menjadi fokus utama dari subjek perjuangan.

Politik praktis Ho Chi Minh dibuktikan pada tanggal 19 Mei 1941 dengan mendirikan Viet Minh (Vietnam Doc Lap Dong Mint) yaitu Liga Kemerdekaan Vietnam. Kaum Nasionalis dilibatkan dalam upaya merumuskan cita-cita rakyat Vietnam sebagai strategi merangkul kekuatan Nasionalis untuk mendukung komunisme sehingga terbentuklah Liga Revolusi Vietnam (Dong Mihn Hoi) pada tanggal 10 Oktober 1942. Kekuatan Ho Chi Minh menjadi lebih besar manakala bertemu dengan Pham Van Dong dan Vo Nguyem Giap maupun pelatihan perang gerilya yang dilakukan oleh Chiang Kai Shek sebagai tokoh Kuomintang.

Hambatan kemerdekaan dari negara Perancis (1946-1954) menjadikan Vietnam menandatangani perjanjian yang isinya pasukan Perancis diijinkan menempati beberapa tempat di Vietnam Utara yang sudah dikuasai Republik Demokrat Vietnam (RDV). Perjanjian tersebut membuka kesempatan kaum komunis melebarkan pengaruhnya dengan berbagai aksi, antara lain pengejaran kaum nasionalis, maupun mengadakan kontak senjata dengan Perancis untuk memperluas wilayahnya. Kekalahan komunisme dalam kontak senjata memberi inspirasi komunisme untuk mengubah strategi menjadi strategi gerilya yang terbukti lebih efektif dan berhasil sehingga terjadilah Perjanjian Jeneva 26 April 1954. Sejak perjanjian Jeneva dengan jatuhnya Vietnam Selatan pada tahun 1975, menjadikan kemenangan komunisme untuk menyatukan Vietnam Utara dan Selatan dalam basis komunis. Benteng Perancis Dien Bien Phu sebagai simbol kekalahan Perancis terhadap komunisme di Vietnam, berdasarkan perjanjian Jeneva memecah daerahnya menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, dan Perancis menerahkan perannya kepada Amerika.

Ngo Dihn Diem sebagai Presiden merangkap Perdana Menteri di Vietnam Selatan berusaha membenahi struktur pemerintahannya yang terbengkalai karena banyaknya permasalahan yang ada di Vietnam Selatan. Pembenahan  bidang politik/pertahanan, pendidikan, ekonomi dan sosialpun dibenahi. Bidang politik difokuskan pada pembendungan pengaruh komunisme di Vietnam Selatan, bidang pendidikan dikonsentrasikan pada peningkatan pendidikan masyarakat, bidang ekonomi dengan  rencana pembangunan ekonomi dan bidang sosial dengan memperhatikan petani-petani kecil.

Keterlibatan Amerika Serikat di Vietnam dilatarbelakangi pasca Perang Dunia II karena timbulnya perang dingin dan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat.  Perang dingin ditandai dengan perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Kebijakan politik Amerika dengan slogan Containment Policy menggambarkan suAtu politik yang bertujuan mencegah berkembangnya pengaruh suatu negara atau suatu sistem politik dari pihak yang dipandang lawan oleh karena itu Amerika Serikat berusaha membendung kekuatan lawannya yaitu komunisme di Vietnam Selatan.

Kondisi Vietnam sekitar tahun 1954 yang instabilitas negaranya kurang karena dirongrong oleh kekuatan komunisme, menjadikan pemerintah Vietnam di bawah kepemimpinan Ngo Dinh Diem membuka diri atas bantuan Amerika Serikat. Pemerintah Amerika Serikat pun berusaha konsisten atas politik containment policy di kawasan Asia Tenggara dan menggunakan Teori Domino Eisenhower-Dulles. Teori ini dijadikan ukuran kegiatan komunis di suatu tempat. Bila sesuatu negara jatuh ke tangan komunisme, negara lain yang bertetangga akan jatuh pula.

Kehadiran Amerika di Vietnam Selatan ternyata tidak diterima oleh kalangan masyarakat, hal ini terjadi karena rakyat merasa hidup dalam penjajahan lagi. Masyarakat merasa jenuh dan tersiksa karena baru saha menikmati kemerdekaan bebas dari penjajahan asing Perancis tiba-tiba datang bangsa asing lain yaitu Amerika. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya organisasi pembebasan Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan (FPNVS) yang menimbulkan perang saudara antara pemerintah Amerika  Serikat dan dengan Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan.

Analisis kajian tentang keterlibatan Amerika Serikat yang ditinjau dari dua paparan yaitu situasi Amerika Serikat setelah Perang Dunia II dan situasi Vietnam tahun 1954 menjadi latar campur tangan Amerika Serikat mengenai masalah Vietnam Selatan dan Indocina. Peperangan yang terjadi selama sembilan tahun sejak 1956 merupakan salah satu upaya Amerika Serikat dalam memproteksi Vietnam-Selatan dari ancaman komunis Vietnam Utara yang didukung oleh Republik Rakyat Cina dan Uni Soviet.

Strategi proteksi Amerika Serikat terhadap Vietnam Selatan dilaksanakan dengan dwistrategi yaitu pembentukan organisasi pertahanan Asia Tenggara yaitu SEATO (Southeast Asia Treaty Organization), serta memberikan dukungan hegemoni kekuasaan terhadap rezim yang berkuasa di Vietnam Selatan. Kedua strategi ini ditempuh Amerika Serikat untuk membendung inviltrasi komunis dari Vietnam Utara baik secara organisasi maupun fisik. Keyakinan Amerika Serikat terhadap pelaksanaan strategi tersebut dibuktikan dengan dukungan material dan pasukan dalam jumlah yang relatif besar.

Berdasarkan kajian tentang keinginan Amerika Serikat yang untuk mempertahankan Vietnam Selatan terdapat dua faktor utama yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dalam dipengaruhi oleh persepsi rakyat terhadap pemerintah dan dominasi intervensi asing khususnya Amerika Serikat dan faktor dari luar dari keinginan yang kuat dari Vietnam Utara yang menghendak agar Vietnam Selatan tetap menjadi negara kesatuan yaitu Republik Demokrasi Vietnam.

Terbentuknya Vietnam Selatan menjadi negara sosialis dalam kerangka Republik Sosialis Vietnam membawa dampak buruk bagi kemerosotan bidang sosial, ekonomi, militer dan juga pada bidang politik. Keterpurukan tersebut dipicu oleh kegagalan Amerika Serikat untuk mempertahankan Vietnam Selatan sebagai upaya membendung pelebaran kekuasaan komunis di Vietnam. Kegagalan ini juga membawa preseden buruk bagi Amerika Serikat karena kehilangan kepercayaan dari negara-negara Asia Tenggara.

Buku yang bernilai historis ini, menarik untuk disimak karena mengandung nilai-nilai perjuangan dan politis yang kuat sehingga dapat dijadikan referensi wacana ilmiah. Nilai-nilai positif perlu diimplimentasikan sedangkan nilai-nilai kurang kurang sesuai dengan kondisi normatif Indonesia tidak perlu dilestarikan.

Data Buku

Judul Buku    : Amerika Gagal Mempertahankan

Vietnam Selatan

Penyusun      : Drs. John Sabari, M.Si

Penerbit       : MU:3 Communication

Alamat         : Jln Veteran 51 Yogyakarta

Tebal buku    : viii, 113

MATERI S2

ARISTOTELES: MASYARAKAT SIPIL

Aristoteles memandang masyarakat manusia sebagai suatu usaha etis, yang berakar dalam kemampuan individu yang bersifat kodrati, yang terarah pada perwujudan kebaikan moral dan keunggulan intelektual dalam masyarakat politis. Cara Aristoteles mendekati objek-objek bersifat medis dan biologis, yaitu pendekatannya menggunakan gagasan-gagasan tentang pertumbuhan organisme menuju kematangan sebagai suatu yang terdiri atas bekerjanya sifat-sifat khas manusia secara semestinya, yang dapat disamakan dengan kebahagiaan.

Aristoteles mencari standar-standar penilaian normatifnya dan kebaikan komunitas sebagai keseluruhan yang ia utamakan di atas keinginan-keinginan dan kesejahteraan para individu khusus, dengan memberi isi tertentu pada pandangan bahwa ada sebuah sentuhan normatif di dalam pendekatannya. Pendekatan ini memberi komunitas sipil idealnya sebuah segi otoriter dan bersama dengan ketidakpercayaan atas demokrasi murni yang dianggap sebagai sebuah bentuk masyarakat yang tidak stabil.

Pendekatan biologis dari Aristoteles mencakup analisis kenyataan-kenyataan  menjadi bagian-bagiannya dan mengelompokkan menurut spesies dan genus. Jadi manusia adalah mahkluk dengan unsur-unsur tertentu yang khas, khususnya rasio dan bahasa. Keduanya penting karena memberinya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan standar-standar etis. Kualitas-kualitas ini dilapiskan di atas unsur-unsur non rasional, yang lazim untuk segala mahkluk, seperti proses-proses pertumbuhan organisme yang tak sada, emosi-emosi atau nafsu-nafsu, seperti hasrat dan naluri seksual yang condong ke arah pemenuhan tertentu atau kebaikan. Bagian rasional itu sadar dan bebas. Bagian itu menjadi rasio praktis yang memiliki fungsi mengontrol nafsu-nafsu dan rasio teoritis, yang dapat memahami apa yang berlangsung dalam alam semesta dan memahami operasi-operasinya.

Manusia mempunyai nafsu-nafsu yang bersifat sosial, yang kadangkala hanya mengejar kenikmatan, kebanggaan kekuasaan atas orang lain serta nafsu untuk berprestasi secara tidak terbatas. Hal ini terjadi  menyababkan manusia berbuat kejahatan. Manusia pada umumnya rakus dan pengecut, dan mereka mempunyai kekuatan untuk bertindak dengan sadar. Manusia yang senantiasa mengejar kenikmatan rendah ini adalah keadan dari kebanyakan manusia, tetapi Aristoteles percaya akan kemampuan manusia untuk menemukan dan lebih memilih kesenangan-kesenangan yang luhur dari kegiatan moral dan mental, melihat pada kehidupan sebuah komunitas yang tersusun baik, yang bagaimanapun mengikat manusia, untuk memperkembangkan kodrat sejatinya. Oleh karena itu, masyarakat bersifat kodrati bagi mansuai karena di dalam manusia ada penyebab-penyebab efisien dari kehidupan sosial, hasrat seksual dan kebutuhan untuk bersahabat, dan juga karena sebuah kelompok sosialah kodaratnya dapat berkembang.

Bagian inti dari kodrat rasional manusia adalah kemampuan untuk mengikuti standar-standar moral merupakan sebuah keseimbangan antara berbagai hal dalam perasaan dan prilaku manusia. Jadi keberanian adalah sebuah jalan tengah antara penakut dan sikap membabi buta. Kemurahan hati adalah sebuah keseimbangan antara sikap kikir dan royal. Demikian juga halnya mengenai keutamaan-keutamaan moral lainnya seperti keadilan, kebesaran hati, kesabaran dan sikap tenang.

Aristoteles menganggap bahwa tingkat perasaan yang tepat dan jenis perbuatan yang nmemperlihatkan titik tengah itu sulit, barangkali mustahil, untuk ditentukan, sehingga diserahkan kepada manusia memiliki rasio praktis yang mempunyai pengalaman semua kenikmatan itu. Tetapi keutamaan terutama terdiri dari sikap hati untuk menyesuaikan diri dengan standar-standar umum itu. Dan pada prinsipnya  terjadi melalui  sebuah pendidikan yang keras dan ketat yang membuat tingkah laku utama menjadi biasa. Akan tetapi keutamaan bukanlah satu-satunya segi kehidupan yang baik dan membantu untuk memajukan kehidupan sosial. Kerjasama sosial juga perlu untuk keamanan dan kemakmuran material yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan manusiawi yang lebih luhur.

Kemampuan sosial manusia yang bersifat kodrati itu memiliki banyak bentuk. Aristoteles mengumpulkan kemampuan-kemampuan itu menjadi satu di bawah satu kelompok yaitu persahabatan. Persahabatan yang dimaksud adalah sebuah ikatan kasih sayang antara individu yang meliputi keinginan untuk bekerjasama. Persahabatan memiliki sebuah fungsi sosia-logis maupun normatif. Bentuk persahabatan khusus adalah sebuah unsur pada setiap taraf kehidupan komunitas seperti hubungan seksual, hubungan keluarga. Namun hubungan yang paling luhur adalah hubungan yang saling mencintai.

Persahabatan orang-orang sejajar sekaligus merupakan sebuah kekuatan pemersatu di dalam komunitas ini dan merupakan tujuan-tujuan hubungan-hubungan manusiawi. Persahabatan orang-orang yang sejajar itu adalah sebuah model dari konsensus kesempurnaan. Namun karena hanya segelintir orang yang bisa mencapai persahabatan sempurna itu, masyarakat-masyarakat aktual dirusak oleh konflik dan harus diorganisasikan menurut peraturan-peraturan keadilan yang ditanamkan dengan pendidikan yang diarahkan oleh neara dan didukung dengan paksaan yang keras.

Kemampuan manusia untuk memahami dan mengikuti aturan-aturan, yang berasal dari rasionalitas manusia, oleh karena itu sama pentingnya dalam membuat kehidupan sosial mungkin seperti potensi manusia untuk membentuk hubungan-hubungan kasih sayang.

 

Teori Aristoteles tentang Masyarakat

Konsep Aristoteles tentang masyarakat negara dan saling berkaitan sehingga lebih baiknya menggunakan istilah piolis untuk mengartikan komunitas sipil yang diyakini sebagai latar sosial kodrati manusia. Istilah lain yang lebih umum diungkapkan Aristoteles untuk sebuah kelompok sosial adalah “koinoa” yang meliputi segala macam komunitas atau perkumpulan, dimana pada taraf tertentu ada sikap berbagi atau persahabatan. Kelompok yang paling sederhana adalah keluarga atau “oikos” yang muncul dari naluri seksual dan naluri  berpasangan yang sama-sama dimiliki manusia dan binatang dan didukung dengan cinta timbal-balik dari orang tua dan anak-anak.

Berdasarkan dasar-dasar kekeluargaan tersebut kemudian berkembang membentuk desa dan menghasilkan polis yang merupakan kumpulan dari desa-desa di sekitar sebuah kota pusat. Pollis tidak hanya meningkaktkan keamanan terhadap serangan dari luar dan memudahkan perdagangan dan diperluan untuk perkembangan ekonomi.

Aristoteles tidak menerima demokrasi menyeluruh. Kepercayaannya akan keunggulan kodati beberapa orang menyebabkan lebih menyukai sebuah posisi istimewa untuk bagian-bagian yang lebih makmur dari komunitas itu, tetapi ia sadar akan kebutuhan akan jenis keseimbangan dalam polis diantara kaya dan miskin dan sadar akan kecenderungan, bahkan orang-orang yang baik, ke arah korupsi karena jabatannya. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa semua warga negara, pada prinsipnya dapat dipilih sebagai pejabat-pejabat kehakiman dan berlaku sebagai juri-juri, dengan demikian memelihara kesamaan pada taraf tertentu di antara para warga negara dan memberi dasar tertentu untuk pernyataannya bahwa sebuah polis yang ideal dalah “sebuah komunitas orang-orang yang sama kedudukannya, yang mengarah pada kehidupan yan gsebaik mungkin”.

Sebuah polis adalah sebuah komunitas yang para anggotanya adalah warga negara. Seorang wraga negara adalah seseorang yang memiiki jenis hak tertentu untuk menduduki jabatan di dalam negara kota itu, sekalipun hanya sebagai anggota majelis. Dalam polis terdapat konstitusi yang mencantumkan siapa yang berkuasa dan tujuan yang diarah dari komuinitas itu. Aristoteles kemudian menggolongkan polis berdasarkan pada bentuk penampilan, badan sipil yang meaksanakan fungsi-fungsi pokok pemerintahan. Terdapat enam jenis polis utama. Tiga bentuk yang baik adalah (1) Monarkhi, bila satu orang memerintah dnegan kepentingan polis; (2) aristokrasi, bila segelintir orang memerintah dengan cara yang sama dan (3) Politeia, pemerintahan banyak orang untuk tujuan yang sama. Bentuk-bentuk pemerintahan yang jelek adalah (1) tirani; (2) Oligarkhi dan (3) demokrasi, pemerintah dari satu, segelintir dan banyak orang bila diarahkan menuju kepentingan-kepentingan para penguasa sendiri.

Aristoteles mengakhiri dengan sebuah sistem hierarkis: pada puncaknya adalah mereka yang baik sejak kelahirannya dan orang-orang yang relatif kaya yang juga berkeutamaan. Di bawahnya adalah bagian-bagian yang kaya tapi tidak berkeutamaan dari komunitas itu, para tuan dari rumah-rumah tangga pertanian, yang semuanya memiiki tempat tertemtu dalam kehidupan sipil dari polis. Di luar mereka adalah massa penghunhi kota yang bekerja dalam perdagangan, toko-toko. Pada dasar hierarki itu, budak-budak alamiah dan orang-orang asing.

 

Kritik dan Penilaian tentang Komunitas Sipil dari Aristoteles

Kritik yang paling pedas dan langsung atas teori Aristoteles tentang masyrakat adalah dia melakukan kesesatan naturalis dengan bergerak tanpa argumen-argumen yang benar dari observasi-observasi faktual mengenai masyarakat-masyarakat aktual ke kesimpulan-kesimpulan yang normatif mengenai bentuk-bentuk ideal atau dari organisasi sosial. Kritik yang lainnya, Aristoteles mengenai perbudakan kodrati, walaupun teori ini tidak membenarkan perbudakan, sebagaimana ia mengamatinya di Athena, membuat klaim-klaim empiris yang tidak beralasan mengenai kemampuan-kemampuan rendahan dari kelompok-kelompok khusus. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai pernyataan-pertanyaan ideologi belaka yang melayani fungsi dan mempertahankannya kedudukan istimewa ras dan kelas.

 

Literatur Sumber:

Tom Cambell. 1994. Tujuh Teori Sosial. (Terjemahan: F. Budi Hardiman). Yogyakarta: Kanisius

MAKALAH

IDENTIFIKASI PENERAPAN INKUIRI BERBASIS SCIENCE TECHNOLOGY SOCIETY DALAM MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA

Wacana Awal

Peningkatan mutu pendidikan secara terintegrasi, merupakan tujuan utama dalam pengelolaan pendidikan. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan membutuhkan kerjasama berbagai elemen pendidikan baik pimpinan, guru, administrasi, kurikulum, penentu kebijakan pendidikan, sarana, prasarana maupun elemen lain yang mendukung pendidikan. Kesadaran semua pihak dalam peningkatan mutu pendidikan menjadikan lembaga pendidikan mempunyai dinamisasi yang tinggi dalam meningkatkan kualitas pendidikannya.

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Guru sebagai salah satu elemen pendidikan, perlu terus meningkatkan kemampuan mengajarnya untuk dapat memberikan alternatif metode pengajaran yang sesuai dengan peserta didik. Penerapan berbagai metode pembelajaran perlu dianalisis agar sesuai dengan karakteristik mata pelajaran. Semakin bervariasinya penggunaan model dan metode pembelajaran, semakin meningkatnya motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran. Penerapan metode pembelajaran konvensional, diyakini banyak kalangan praktisi pendidikan kurang dapat memotivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dapat dianalisis berbagai standar kompetensi yang membuka peluang untuk dapat diterapkannya berbagai model pembelajaran. Identifikasi penerapan model pembelajaran merupakan hal yang penting, karena dengan menganalisis kemungkinan diterapkannya metode pembelajaran dalam proses pembelajaran, akan menimbulkan motivasi untuk dapat terjadinya variasi pembelajaran.

Mata pelajaran Bahasa  Indonesia yang merupakan bagian dari pembelajaran di tingkat Sekolah Menengah Pertama, mempunyai banyak kajian yang dapat menerapkan berbagai metode pembelajaran. Salah satu metode pembelajaran akan disinergikan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah metode inkuiri berbasis science technology society. Inkuiri merupakan salah satu model pembelajaran yang bersifat menemukan inti pembelajaran,  yang berbasis pada sains teknologi masyarakat. Model ini memang belum begitu tersosialisasikan dalam bentuk  penelitian, mengingat science technologi society banyak diimplementasikan dalam ilmu-ilmu alam.

Adopsi model inkuiri berbasis science technologi society ini diharapkan akan mampu memberikan wacana baru bagi pembelajaran bahasa  Indonesia. Penerapan model ini, mengupayakan keaktifan siswa, kontekstualitas pembelajaran serta menjadikan siswa kritis terhadap permasalahan-permasalahan masyarakat dalam bentuk alternatif solusi pemecahan masalah. Science technologi society memberikan dorongan kepada siswa untuk ikut mencari berbagai alternatif pemecahan masalah dalam kehidupan masyarakat. Implementasi model pembelajaran ini nantinya dapat diwujudkan dalam berbagai penugasan dan karya siswa yang mengarah pada bidang penemuan dan solusi permasalahan masyarakat yang berbasis penerapan keilmuan dan teknologi.

Model inkuiri berbasis science technologi society menuntut keikutsertaan siswa dalam mencari dan memberikan solusi dalam permasalahan masyarakat yang berwujud penugasan dan karya. Siswa tidak hanya menguasai pembelajaran bahasa  Indonesia saja, namun juga dapat melakukan serangkaian proses pembelajaran dan karya yang mengarah pada pemberian wacana tentang sain teknologi, dampak serta solusi permasalahan yang terjadi sebagai akibat dari penerapannya.

Kajian yang akan mengadopsi model inkuiri berbasis science technologi society menimbulkan pertanyaan “bagaimana implementasi penerapan metode inkuiri berbasis science technologi society dalam pembelajaran bahasa  Indonesia khususnya yang diterapkan di Sekolah Menengah Pertama atau yang sederajat?” Pemikiran permasalahan tersebut kemudian dicoba dianalisis dalam bentuk esai ini.

Model Inkuiri berbasis Science Technologi Society

Istilah inkuiri merupakan istilah serapan dari bahasa Inggris inquiry yang berarti penyelidikan, penelitian. Beberapa karya menggunakan istilah lain yaitu metode penemuan yang diterjemahkan dari bahasa Inggris discovery method. Kadang kala metode ini juga disebut dengan discovery-inquiry method yang menunjukkan bahwa suatua konsep ditemukan setelah dilakukan suatu penyelidikan (Anna Poedjiadi, 2005: 85).

Model inkuiri merupakan model yang mempersiapkan peserta didik pada situasi untuk melakukan penelitian sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan pertanyaan, dan mencari jawabannya sendiri, serta menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukannya dengan apa yang ditemukan peserta didik lain (Mulyasa, 2005: 108).

Model pembelajaran merupakan sebuah perencanaan pengajaran yang menggambarkan proses yang ditempuh pada proses belajar mengajar agar dicapai perubahan spesifik pada perilaku siswa seperti yang diharapkan (Abdul Azis Wahab, 2008: 52). Joyce dalam Trianto (2007: 5) memberikan definisi tentang model pembelajaran yaitu suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum dan lain-lain.

Model inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses perpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Strategi pembelajaran ini sering juga dinamakan strategi heuristic, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti saya menemukan (Wina Sanjaya, 2007: 194). Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru perlu merancang kegiatan yang menunjuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkan (Trianto, 2007: 109).

Penggunaan model inkuiri dapat berdampak pada pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari siswa bukan hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Guru perlu merancang kegiatan pembelajaran yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkan. Langkah-langkah kegiatan menemukan adalah merumuskan masalah, observasi, menganalisis, melaporkan hasil pengamatan serta menyajikan hasil karyanya (Depdiknas, 2002: 10).

Ada beberapa hal yang menjadi ciri utama strategi pembelajaran inkuiri (Wina Sanjaya, 2007: 194) yaitu pertama, strategi inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya strategi inkuiri menempatkan siswa sebagai  subyek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa tdiak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi siswa berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.

Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya. Strategi pembelajaran inkuiri menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, akan tetapi sebagai fasilitator belajar siswa. Aktivitas pembelajaran biasanya dilakukan melalui proses tanya jawab antara guru dan siswa. Oleh sebab itu kemampuan guru dalam menggunakan teknik bertanya merupakan syarat utama dalam melakukan inkuiri.

Ketiga, tujuan dari penggunaan strategi pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis dan kritis atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Dalam strategi pembelajaran inkuiri, siswa tidak hanya dituntut agar menguasai materi pelajaran, akan tetapi bagaimana siswa dapat menggunakan potensi yang dimilikinya. Manusia yang hanya menguasai pelajaran belum tentu dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara optimal, namun sebaliknya siswa akan dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya manakala siswa bisa menguasai materi pelajaran. Secara umum proses pembelajaran dengan menggunakan strategi pembelajaran inkuiri dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut            (1) observasi; (2) bertanya; (3) mengajukan dugaan; (4) pengumpulan data; (5) penyimpulan (Trianto, 2007: 110).

Inkuiri yang berbasis science technology society merupakan strategi pembelajaran menghasilkan warga negara yang memiliki pengetahuan yang cukup sehingga mampu membuat keputusan-keputusan yang krusial tentang masalah-masalah dan isu-isu yang mutakhir dan mengambil tindakan sesuai dengan keputusan yang dibuatnya tersebut (Arnie Fajar, 2009: 25). Tujuan pendidikan sains abad ke-21 antara lain harus tanggap terhadap kondisi perkembangan imu pengetahuan dan teknologi masa sekarang, masa yang akan datang serta masalah-masalah sosial yang timbul dari isu-isu sosial. Pendidikan sains abad ke-21 hendaknya ditujukan pada pengembangan-pengembangan individu yang tahu sains, mengerti bahwa sains-teknologi dan masyarakat saling mempengaruhi dan saling bergantung mampu mempergunakan pengetahuannya dalam membuat keputusan-keputusan yang tepat dalam kehidupan sehari-hari (Eddy M. Hidayat, 1992: 15).

Pada dasarnya pendekatan science technology society dalam pembelajaran, baik pembelajaran sains maupun pembelajaran bidang studi sosial dan bahasa dilaksanakan oleh guru melalui topik yang dibahas dengan jalan menghubungkan antara sains dan teknologi yang terkait dengan kegunaannya di masyarakat. Tujuannya antara lain untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar disamping memperluas wawasan peserta didik (Anna Poedjiadi. 2005: 84). Guru perlu mengubah paradigma bahwa umumnya guru merasa telah melaksanakan tugas mengajarnya dnegan baik, apabila telah mengantarkan peserta didik menguasai konsep-konsep dalam bidang studi yang diajarkannya meskipun belum tentu peserta didik mengaitkan konsep-konsep sains dengan kepentingan masyarakat.

Program Science Technology Society pada umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Identifikasi masalah-masalah setempat yang memiliki kepentingan dan dampak.
  2. Penggunaan sumber daya setempat (manusia, benda, lingkungan) untuk mencari informasi yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah.
  3. Keikutsertaan yang aktif dari siswa dalam mencari informasi yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Perpanjangan belajar di luar kelas dan sekolah.
  5. Fokus kepada dampak sains dan teknologi terhadap siswa.
  6. Suatu pandangan bahwa isi dari pada sains bukan hanya konsep-konsep saja yang harus dikuasai siswa dalam tes.
  7. Penekanan pada ketrampilan proses sehingga siswa dapat menggunakan dalam memecahkan masalah.
  8. Penekanan pada kesadaran karir yang berkaitan dengan sains dan teknologi. Kesempatan bagi siswa untuk berperan sebagai warga negara sehingga dapat mencoba untuk memecahkan isu-isu yang telah diidentifikasikan.
  9. Identifikasi bagaimana sains dan teknologi berdampak di masa depan.
  10. 10.  Kebebasan atau otonomi dalam proses belajar (Arnie Fajar, 2009: 25).

Implementasi Model Inkuiri berbasis Science Technologi Society dalam Mata Pelajaran Bahasa  Indonesia

Dalam kehidupan sehari-hari, fungsi utama bahasa adalah sarana komunikasi. Bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antar penutur untuk berbagai keperluan dan situasi pemakaian. Orang tidak akan berpikir tentang sistem bahasa, tetapi berpikir bagaimana menggunakan bahasa ini secara tepat sesuai dengan kontek dan situasi. Jadi, secara pragmatis bahasa lebih merupakan suatu bentuk kinerja dan performansi dari pada sebuah sistem ilmu. Pandangan ini membawa konsekuensi bahwa pembelajaran bahasa haruslah lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi daripada pembelajaran tentang sistem bahasa.

Sastra adalah satu bentuk sistem tanda karya seni yang menggunakan media bahasa. Sastra ada untuk dibaca, dinikmati, dan dipahami serta dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Pembelajaran sastra seharusnya ditekankan pada kenyataan bahwa sastra merupakan salah satu bentuk seni yang dapat diapresiasi. Oleh karena itu, pembelajaran sastra haruslah bersifat apresiatif. Sebagai konsekuensinya, pengembangan materi, teknik, tujuan dan arah pembelajaran sastra haruslah lebih menekankan kepada pembelajaran yang bersifat apresiatif.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada Bab V Standar Kompetensi Lulusan pasal 25 ayat (3) menjelaskan bahwa kompetensi lulusan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia menekankan pada kemampuan membaca dan menulis yang sesuai dengan jenjang pendidikan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tetang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia adalah:

1.   Mendengarkan

Memahami wacana lisan dalam kegiatan wawancara, pelaporan, penyampaian berita radio/TV, dialog interaktif, pidato, khotbah/ceramah, dan pembacaan berbagai karya sastra berbentuk dongeng, puisi, drama, novel remaja, syair, kutipan, dan sinopsis novel.

2.   Berbicara

Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, pengalaman, pendapat, dan komentar dalam kegiatan wawancara, presentasi laporan, diskusi, protokoler, dan pidato, serta dalam berbagai karya sastra berbentuk cerita pendek, novel remaja, puisi dan drama.

3.   Membaca

Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami berbagai bentuk wacana tulis dan berbagai karya sastra berbentuk puisi, cerita pendek, drama, novel remaja, antologi puisi, novel dari berbagai angkatan.

4.   Menulis

Melakukan berbagai kegiatan menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk buku harian, surat pribadi, pesan singkat, laporan dinas, petunjuk, rangkuman, teks berita, slogan, poster, iklan baris, resensi, karangan, karya ilmiah sederhana, pidato, surat pembaca, dan berbagai karya sastra berbentuk pantun, dongeng, puisi, dan cerpen.

Mata pelajaran Bahasa  Indonesia, perlu menerapkan pendekatan science technology society, agar siswa tidak hanya mampu untuk menguasai materi-materi pembelajaran, namun juga dapat mengetahui dan terlibat dalam kondisi masyarakat, khususnya tentang dampak ilmu dan tekhnologi. Peran aktif siswa tersebut dapat diwujudkan dari penugasan-penugasan yang diberikan oleh guru serta karya-karya siswa yang lebih menekankan pada penggalian permasalahan masyarakat karena adanya dampak ilmu pengetahuan dan teknologi. Peserta didik diberikan stimulus agar berperan aktif mencari, memahami dan menemukan alternatif solusi dari berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.

Saat ini perlu adanya perubahan paradigma tentang perlunya proses pembelajaran yang diorganisasikan melalui pendekatan science technology society sebagai upaya melatih peserta didik mengatasi masalah yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat. Latar belakang asumsi ini mengingat perkembangan sains dan teknologi seringkali menimbulkan dampak perubahan masyarakat, sehingga dapat mengubah kondisi kehidupan masyarakat. Perkembangan sains dan teknologi seringkali tidak diiringi oleh kesiapan masyarakat termasuk peserta didik dan kadang menimbulkan shock culture. Diakui pula bahwa sains dan teknologi memiliki dampak positif dan negatif, oleh karena itu masyarakat harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup terhadap berbagai teknologi yang mereka terima.

Pembelajaran inkuiri berbasis science technology society banyak memanfaatkan lingkungan yang ada di sekitar peserta didik agar pembelajaran dapat optimal. Dampak dari penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar akan menghasilkan pembelajaran yang lebih bermakna dan bernilai, sebab anak dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, yaitu keadaan yang alami sehingga lebih nyata, lebih faktual, serta kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan. Ciri pengajaran yang berhasil salah satunya dapat dilihat dari kegiatan siswa belajar. Semakin tinggi kegiatan belajar siswa, semakin tinggi peluang berhasilnya pengajaran. Hal ini berarti kegiatan guru dalam mengajar harus merangsang kegiatan siswa melakukan berbagai kegiatan belajar khususnya dalam mengimplementasikan model inkuiri berbasis science technology society.

Dalam silabus Mata Pelajaran Bahasa dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan membuka banyak peluang untuk pelaksanaan model inkuiri berbasis science technology society. Melalui model inkuri berbasis science technology society anak diharapkan dapat menemukan berbagai kesimpulan sendiri dari hasil pengamatannya yang juga mengandung solusi permasalahan yang berhubungan dengan penerapan sain teknologi yang berpengaruh pada masyarakat. Guru berperan sebagai fasilitator agar anak dapat melakukan kegiatan pengembangan pemahamannya sendiri dari hasil observasi dan kegiatan menemukan keilmuan yang ingin dipelajarinya. Wujud dari output pembelajaran dapat berupa hasil dari penugasan maupun karya-karya anak dalam bidang sastra yang merupakan hasil penemuannya sendiri berdasar kondisi masyarakat. Penugasan dan hasil karya tersebut sedapat mungkin memuat berbagai solusi permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Model inkuiri yang dapat diterapkan dalam pembelajaran Bahasa dan Sasta Indonesia dapat berupa pemberian penugasan mandiri kepada siswa, menganalisis suatu permasalahan yang berhubungan dengan materi pembelajaran Bahasa  Indonesia, maupun kegiatan lain yang berbasis pada aktivitas siswa untuk menemukan keilmuan yang dipelajari khususnya berhubungan dengan penerapan ilmu dan tekhnologi. Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model inkuiri berbasis science technology society tidak begitu sulit diterapkan, mengingat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pembelajaran Bahasa  Indonesia memberikan peluang untuk dilaksanakannya pembelajaran menggunakan model inkuiri.

Identifikasi implementasi model inkuiri dalam pembelajaran Bahasa Indonesia ini penting dilakukan sebagai upaya untuk menganalisis ketetapan pembelajaran dalam setiap kompetensinya. Identifikasi ini juga akan menimbulkan variasi pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru dalam setiap kajian pembelajarannya. Guru dapat melibatkan kegiatan siswa secara aktif, sehingga siswa dapat mengetahui permasalahan pembelajaran yang akan dipelajari, menganalisisnya sampai dengan menyimpulkan hasil pembelajaran.

Secara sederhana identifikasi implementasi model inkuiri dalam pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai contoh dalam melaksanakan pembelajaran inkuiri berbasis berbasis science technology society contohnya: (1) Standar kompetensi “mendengarkan”, siswa ditugaskan untuk menyampaikan hasil wawancara, pidato, pembacaan karya sastra dan lain sebagainya tentang permasalahan masyarakat yang berhubungan dengan penerapan ilmu dan teknologi; (2) standar kompetensi “berbicara”, siswa diberi penugasan untuk menungkapkan pikiran, perasaan, infomasi maupun komentar tentang wawancara, diskusi, pidato, maupun hasil karya yang lebih cenderung mengungkap permasalahan masyarakat yang merupakan dampak dari ilmu dan teknologi; standar kompetensi uusan “membaca”; (3) standar kompetensi lulusan “membaca”, peserta didik secara aktif membaca berbagai bentuk wacana tulis dan berbagai hasil karya sastra yang mengupas permasalahan penerapan ilmu dan teknologi yang berdampak pada masyarakat; serta (4) standar kompetensi “menulis”, yaitu siswa secara mandiri menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam berbagai bentuk karya yang mengungkap permasalahan masyarakat khususnya tentang penerapan ilmu dan teknologi.

Identifikasi penerapan model inkuiri dalam pembelajaran merupakan analisis dari kompetensi dasar yang ada dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Melalui identifikasi ini dapat dirancang ketepatan penggunaan model inkuiri berbasis science technology society dalam berbagai kompetensi dasar dalam pembelajaran Bahasa  Indonesia. Identifikasi juga dapat menjadi acuan untuk dapat melakukan berbagai penelitian yang sesuai dengan kelemahan siswa dalam menerima pembelajaran, salah satunya dengan model inkuiri.

Kreativitas guru Bahasa Indonesia untuk mengidentifikasi implementasi berbagai model pembelajaran, dapat memperkaya khasanah perencanaan pembelajaran. Kajian-kajian mendalam terhadap implementasi penerapan model pembelajaran akan menyebabkan peningkatatan motivasi siswa untuk mengikuti pembelajaran yang berdampak juga bagi peningkatan prestasi siswa.

Wacana Akhir

Pembelajaran Bahasa  Indonesia perlu mengembangkan khasanah model pembelajaran dengan menerapkan model inkuiri berbasis berbasis science technology societ. Latar belakang dari pemikiran tersebut mengingat peserta didik perlu dipersiapkan untuk memahami permasalahan yang terjadi di masyarakat serta memberikan masukan terhadap perapan ilmu dan tekhnologi agar tidak berdampak negatif dalam masyarakat. Pembelajaran melalui model inkuiri berbasis berbasis science technology society lebih dapat mengaktifkan siswa, bersifat kontekstual, serta dapat memberikan pemahaman kepada peserta didik untuk dapat memahami tentang permasalahan masyarakat disamping dapat menguasai pembelajaran Bahasa  Indonesia.

Saran yang dapat diberikan kepada guru maupun berbagai pihak yang berkompenten dalam mengembangkan mata pelajaran Bahasa  Indonesia adalah perlunya saat ini mengubah paradigma pembelajaran untuk menerapkan inkuiri berbasis science technology society dalam mata pelajaran Bahasa  Indonesia. Peserta didik perlu dipersiapkan untuk menguasai pembelajaran Bahasa  Indonesia yang lebih dapat diterapkan dalam masyarakat, khususnya keaktifan siswa dalam menggali, memahami, serta memberikan berbagai alternatif solusi permasalahan dalam berbagai penugasan dan karya peserta didik. Semoga wacana ini dapat memberi pemahaman kepada berbagai pihak sebagai sarana penyadaran perlunya keterlibatan aktif peserta didik dalam menganalisis kondisi masyarakat.


Pustaka

Abdul Azis Wahab. 2008. Metode dan Model-model Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Alfabeta.

Anna Poedjiadi. 2005. Sains Teknologi Masyarakat Model Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Nilai. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Arnie Fajar. 2009. Portofolio dalam Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standar Isi. Jakarta: Badan Nasional Standar Pendidikan.

Depdiknas. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Depdiknas.

Eddy M. Hidayat. 1996. Sains Teknologi Masyarakat. Makalah disampaikan pada seminar Literasi Sains dan Teknologi. Jakarta: Balitbang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Triyanto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sikdiknas). Yogyakarta: Media Wacana Press.

Wina Sanjaya. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kecana.